Rabu, 30 Desember 2009

UPAYA MELIHAT FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

--------------------------------------------------------------------------------------------

Oleh: Malik Ibrahim, Dosen Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga

ABSTRAK

Islam masuk ke Filipina sudah sejak abad ke 13 Masehi, jauh sebelum datangnya para penjajah, baik Spanyol pada abad ke 15 Masehi maupun Amerika Serikat pada abad ke 19 Masehi. Namun sampai sekarang Islam yang telah lama hadir di Filipina tersebut tidak semakin berkembang menyebar ke seluruh penjuru Filipina tetapi sebaliknya justeru semakin termarginalisasi oleh berbagai macam aspek. Bahkan muslim Filipina cenderung menjadi komunitas yang minoritas disamping komunitas Kristen Katholik yang mayoritas. Tulisan yang sederhana ini berupaya mencoba melihat berbagai macam faktor, baik internal maupun eksternal dari fenomena tersebut dengan pendekatan historis politis.

SEPUTAR GERAKAN ISLAM DI FILIPINA

SUATU

Key words: Islam, Filipina, Mindanao.

A. Pendahuluan, Aspek historisitas Muslim di Filipina

Filipina adalah negeri kepulauan yang terdiri dari 7.109 pulau tropis dengan total luas wilayah 29.629.000 hektar dan terdiri dari berbagai ragam etnis, bahasa dan agama. Meskipun lebih dikenal sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya menganut Katholik, wilayah Filipina sekarang ini meliputi juga beberapa kawasan yang berpenduduk muslim. Menurut catatan sensus resmi Filipina tahun 2001, jumlah penduduk muslim di negara yang beribukota Manila ini adalah 5 % dari seluruh penduduk Filipina, yakni sekitar 4 juta jiwa dari jumlah total populasi 82.841.518. juta penduduk. Sementara itu berbagai sumber lainnya menyebutkan, pada tahun (2003) setidaknya terdapat kurang lebih 7 juta penduduk muslim, artinya mencapai 10 % dari total penduduk Filipina.

Jumlah tersebut di atas cukup menjadikan komunitas muslim sebagai kelompok minoritas, baik dari segi budaya maupun politik, di tengah-tengah bangsa Filipina yang mayoritas beragama Katholik. Setidaknya terdapat 12 kelompok etno-linguistik dalam masyarakat Islam Filipina, yaitu: Manguindanao, Maranao, Iranun, Tausug, Samal, Yakan, Jama Mapun, Palawani, Molbog, Kalagan, Kolibugan dan Sangil. Mayoritas dari mereka bertempat tinggal di kawasan Filipina Selatan, khususnya Pulau Mindanao dan Kepulauan Sulu.1 [Azyumardi Azra, 2005:44]

Meskipun menyandang status minoritas, dalam konteks Filipina, masyarakat Islam adalah komunitas terbesar kedua setelah masyarakat Katholik. Posisi seperti itu membuat komunitas muslim sangat penting bagi perkembangan sosial dan politik Filipina.

Masyarakat Islam di Filipina juga seringkali disebut bangsa Moro. Menurut catatan sejarahnya, istilah Moro merujuk kepada kata Moor, Moriscor atau Muslim. Kata Moor berasal dari istilah Latin Mauri, sebuah istilah yang seringkali digunakan orang-orang Romawi Kuno untuk menyebut penduduk wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika Bangsa Spanyol tiba di wilayah Filipina dan menemukan sebuah bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat seperti orang-orang Moor di Spanyol Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang Islam Filipina dengan istilah Moro.

Istilah moro digunakan untuk menamakan penduduk pribumi Filipina yang beragama Islam. Sedangkan istilah Indio merupakan sebutan bagi kaum pribumi Filipina yang menjadi Kristen. Sedangkan kaum yang menyembah berhala dan berdiam di pedalaman dan gunung-gunung disebut infieles. Istilah Filipino biasanya dikenakan bagi orang Spanyol yang lahir di Filipina, untuk membedakan dengan peninsulares, yaitu orang-orang Spanyol yang lahir di Spanyol Eropa. [Cesar A Majul, 1991:10]

Dalam catatan sejarah Islam masuk ke Filipina tidak lama setelah Islam berkembang di dunia Melayu. Islam sudah berkembang di beberapa kepulauan, khususnya Sulu di Filipina Selatan, setidaknya pada perempat terakhir abad ke-13. Ini berarti, bagi kawasan Filipina, kedatangan Islam jauh lebih awal daripada kedatangan kolonial Barat, khususnya bangsa Spanyol. Islam menyebar ke Filipina melalui Sulu pada abad ke-14 oleh para dai yang datang dari kepulauan Indonesia. Sebenarnya pada abad ke-13 sudah banyak pedagang muslim yang menetap di Sulu karena letak geografisnya strategis. Filipina menjadi salah satu jalur perdagangan internasional (yang membentang dari Laut Merah hingga Laut Cina) dan dikuasai oleh para pedagang muslim. Penyebaran Islam pun berkembang pesat hingga awal abad ke- 16 di Filipina. Pada masa ini penyebaran Islam telah mencapai Kepulauan Mindanao, Kepulauan Visayas, bahkan sampai ke Pulau Luzon. [Niels Murder, 2005:240-245]

Pedagang-pedagang Muslim diketahui telah mengunjungi Kalimantan pada abad ke- 10, dan beberapa diantaranya menetap di Sulu, pada awal abad ke- 13. Pada masa itu pedagang-pedagang Islam sering singgah di Kepulauan Filipina, dalam perjalanannya menuju Cina. Pada abad selanjutnya, para pendakwah Islam (mahdumin) dari kepulauan Indonesia yang beredekatan, tiba di Sulu, dalam usaha penyebaran agama. Mahdumin ini, niscaya dipengaruhi oleh sufisme, yang mengajarkan unsur-unsur dasar Islam dan mendirikan masjid-masjid sederhana. [Cesar A Majul, 1986:8]

Pada akhir dasawarsa abad ke- 14, ketika sisa-sisa kerajaan Sriwijaya telah disapu bersih oleh Majapahit, banyak Pangeran dan prajurit Sumatera melarikan diri ke berbagai bagian dari dunia Melayu. Berbagai tarsila Sulu menceritakan tentang seorang pangeran Sumatera dengan beberapa menteri dan pengikutnya yang mendarat di Buansa di Pulau Jolo, untuk mendirikan kerajaan. Dan para pemimpin setempat menyambutnya dengan baik, ketika dia mengidentifikasikan dirinya dan para pengikutnya sebagai orang Islam. Maka pangeran tersebut menjadi raja lokal dan kawin dengan wanita Islam pribumi. Menurut legenda Sulu, beberapa tahun kemudian, seorang Arab melakukan perjalanan dari Sumatera dan Kalimantan ke Buansa. Ia mengawini anak perempuan raja tersebut dan mendirikan kesultanan pada kira-kira tahun 1450 M, demikian menurut para sejarawan. Maka semua sultan Sulu menyatakan sebagai keturunan dari sultan pertama ini. [Cesar A Majul, 1991:8-9]

Mayoritas orang-orang Moro tinggal di bagian Barat dan tengah pulau Mindanao dan pulau Sulu. Mereka dikelompokkan ke dalam dua belas kelompok suku bahasa, yang utama adalah Maranao, Manguindanao, Tausug, Samal dan Yakan. Bertani dan menangkap ikan adalah mata pencaharian utama mereka.Beberapa kelompok dikenal dengan industri rumah tangga, seperti kerajinan dari kuningan dan anyaman serta aktifitas perdagangan. Wilayah mereka praktis tidak memiliki basis basis industri. [John L Esposito, 1991, II:65]

Para pedagang dan dai muslim mengunjungi Sulu pada abad ke- 13. Segera setelah itu, para petualang muslim dari wilayah Melayu menyusul dan mendirikan kesultanan di Sulu dan Mindanao. Ketika bangsa Spanyol datang di Filipina pada 1565 untuk mendirikan koloni dan mengubah penduduk menjadi Katholik, mereka ditentang oleh tiga kesultanan Muslim di Selatan, Sulu, Manguindanao dan Bayan. Bangsa Spanyol mampu dengan relatif mudah merebut Manila, sebuah kesultanan yang diperintah oleh kerabat Sultan Brunei, tetapi mereka tidak mampu menaklukkkan kesultanan-kesultanan di selatan. [John L Esposito, 1991, II:65]

Sumber-sumber perihal kedatangan Islam di Sulu umumnya berasal dari tradisi setempat, yaitu jaringan genealogis yang disebut Tarsila (silsilah). Sebagaimana halnya sumber-sumber silsilah lainnya, tarsila berbau mitologis, namun cukup kronologis dan runtut menjelaskan asal mula dan perkembangan awal komunitas Islam. Berdasarkan sumber-sumber tersebut, banyak penulis menilai Sulu sebagai miniatur proses Islamisasi Asia Tenggara. [Niels Murder, 2005:240-245]

Pada tahun 1565 proses penyebaran Islam mulai menghadapi hambatan dengan masuknya bangsa Spanyol ke Filipina yang bertujuan memperoleh koloni baru dan sekaligus menyebarkan agama Kristen Katholik. Orang Spanyol inilah yang menyebut penduduk muslim Filipina dengan nama ”Moro”, sebagaimana mereka menyebut orang dari Afrika Utara (yang pernah berkuasa di Spanyol dari abad ke-8 hingga abad ke-15) yang juga menganut agama Islam. Istilah itupun masih dipakai hingga kini.

Kedatangan orang-orang Spanyol di Filipina tahun 1565 untuk mendirikan koloni dan memasukkan penduduknya ke dalam agama Kristen, untuk menghalangi penyebaran Islam selanjutnya ke utara dari Kalimantan, dan ke selatan Filipina arah Luzon dan kepulauan Visayan. Sejak saat itu penyebaran Islam terbatas sampai ke kepulauan Sulu dan Mindanao sebelah barat. [Cesar Adib Majul, 1991:9-10]

Dari penjajahan Spanyol inilah timbul konflik keagamaan dan politik antara kelompok muslim dan Kristen Filipina yang terus berlangsung hingga saat ini. Dalam upaya menguasai wilayah Filipina Selatan yang berpenduduk mayoritas muslim, bangsa Spanyol melancarkan gerakan Kristenisasi dan memukimkan penduduk Kristen ke wilayah itu. Akibatnya, komunitas maupun wilayah penduduk Moro pun terus menyusut hingga terbatas pada Kepulauan Sulu dan Pulau Mindanao bagian Barat. Konflik dan proses penyusutan itu terus berlanjut pada masa Amerika Serikat (AS) menjajah Filipina (1898-1935)

Sebenarnya, ketika orang-orang Spanyol datang di Filipina pada abad ke-16, mereka menjumpai banyak banyak kelompok kultural dan etnik yang berbeda-beda dan secara tersebar meluas. Mereka berusaha memaksakan nilai-nilai social, lembaga-lembaga kultural dan agama, dan system ekonomi mereka, pada rakyat pribumi yang ditundukkannya. Dua pokok tujuan dari penaklukkan Spanyol adalah mengkristenkan kaum pribumi, dan perluasan kepentingan ekonomi raja Spanyol. Orang-orang Spanyol berhasil mengintegrasikan sebagian besar kaum pribumi ke dalam sebuah komunitas, baik secara politik maupun gerejawi. Mayoritas yang besar kaum pribumi menjadi orang Kristen maupun warga negara monarki Spanyol. Tetapi orang-orang Spanyol tidak pernah benar-benar berhasil mengasimilasikan orang-orang Islam dan sultan-sultannya ke dalam komunitas tersebut. Mereka gagal mengubah orang-orang Moro menjadi indio Kristen. [Cesar Adib Majul, 1986:114-115]

Gerakan nasionalis Filipina menggambarkan usaha orang-orang indio yang sudah dikristenkan atau dibaratkan, untuk merebut kekuasaan politik dari para penguasa kolonial Spanyol. Orang-orang indio ingin disebut ”Filipino”, dan memperebutkan penggunaan istilah ini yang menunjukkan secara eksklusif sebagai orang-orang Spanyol yang lahir di Filipina. Mereka tidak punya perhatian untuk kembali ke kultur pribumi yang dahulu, atau menyerah pada nilai-nilai Kristen yang telah diangkat dan dipelajari oleh mereka dan nenek moyang mereka. Sekali orang Kristen Filipina mewarisi lapisan kekaisaran, maka mereka akan memperlakukan orang Islam Filipina dengan sikap yang hampir sama dengan yang dimiliki orang Spanyol dan Amerika. Para pemimpin nasionalis Filipina menggunakan pendirian kolonial terhadap orang Islam. Pada akhirnya ini menjelaskan, mengapa dalam begitu banyak dasawarsa, orang Islam tidak menghormati pemerintah Manila, yang dianggapnya tidak berbeda dengan pemerintah kolonial Spanyol atau Amnerika. Orang Islam tidak berperanserta dalam apa yang dinamakan gerakan nasionalis melawan Spanyol. Namun, karena berbagai alasan historis, mereka dengan minoritas kultural yang lain menemukan diri mereka sendiri dalam sebuah tubuh politik yang diciptakan oleh kekuasaan-kekuasaan imperial. [Cesar Adib Majul, 1986:115]

Sebenarnya, gerakan nasionalis Filipina adalah proses yang berkelanjutan, dan telah melewati berbagai tahapan. Sesungguhnya, gerakan itu menggambarkan usaha-usaha elit pribumi yang terdidik untuk merebut kekuasaan dari penguasa-penguasa kolonial Spanyol, baik tingkat-tingkat politik maupun gerejawi. Usaha ini digagalkan oleh kedatangan orang-orang Amerika yang meaksakan kedaulatan Amerika. Selama rezim Amerika, elit pribumi yang beragitasi untuk kemerdekaan adalah sama. Namun kini, gerakan nasionalis di Filipina dimanifestasikan oleh usaha dari berbagai sektor penduduk, untuk menggalang diri mereka sendiri secara progresif ke dalam sebuah komunitas nasional yang anggota-anggotanya dikarakteristikkan oleh kesadaran yang meningkat dari nasionalitas dan loyalitas kepada kesatuan politik yang lebih besar. [Cesar Adib Majul, 1986:115-116]

Pada tahun 1935, ketika pemerintahan Persemakmuran Filipina terbentuk sebagai hasil kesepakatan perjanjian antara AS dan pejuang nasionalis Filipina, Manuel Quezon (Presiden terpilih 1935-1944) menyatakan kepada masyarakat Moro bahwa mereka, yakni para sultan dan datuk, tidak lagi memiliki tempat dalam pemerintahan baru ini dan hukum nasional akan diberlakukan kepada setiap warganegara tanpa melihat agamanya. Pernyataan Quezon itu menimbulkan reaksi keras dari masyarakat Moro yang selalu menganggap diri mereka sebagai bangsa yang berdiri sendiri, terlepas dari Filipina. Kemudian sekitar seratus lebih datuk dari suku bangsa Maranao mengirim surat kepada Presiden AS Fransklin D Rosevelt. Mereka menyatakan ingin dipisahkan dari pemerintahan persemakmuran tersebut dan lebih memilih berada di bawah perlindungan AS sampai mereka mampu membentuk pemerintahan sendiri.

Namun hingga Filipina memperoleh kemerdekaan dari AS pada 4 Juli 1946, tuntutan bangsa Moro untuk berdiri sendiri sebagai sebuah negara tidak terwujud. Bahkan sikap pemerintah Filipina yang mendiskriminasikan bangsa Moro semakin nyata. Antara tahun 1950-an dan 1960-an pemerintah Filipina menerapkan program pengembangan dan integrasi nasional. Program itu mengakibatkan membanjirnya kaum Kristen ke wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim. Program tersebut dinilai oleh penduduk muslim sebagai upaya pemerintah untuk menghancurkan komunitas muslim Filipina. Selain itu mereka merasa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak pernah mencapai daerahnya. [Azyumardi Azra, 2005:46]

Pada masa awal kemerdekaannya, Filipina tidak stabil, justeru diwarnai dengan berbagai pertikaian dan pemberontakan terhadap pemerintah, seperti dilakukan kelompok Komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Dengan adanya pemberontakan ini, tekanan pemerintah terhadap perjuangan kaum Moro cenderung berkurang. Namun, sikap represif pemerintah pusat terhadap Bangsa Moro semakin kuat ketika Ferdinant Marcos berkuasa pada tahun 1965.

Pemberian kemerdekaan kepada Filipina pada tahun 1946 tidak banyak bersangkut paut dengan perang dan pengaruhnya, kemerdekaan diberikan sesuai dengan jadual pada waktu AS disambut sebagai pembebas. Pemberian kemerdekaan itu, alih-alih merupakan puncak perjuangan merebut kebebasan, terjadi dalam masa ketergantungan mendalam pada AS, dari segi budaya, segi ekonomi, bahkan segi politik. Kemerdekaan yang dicapai pada tahun 1946 dan bersamaan itu semangat nasionalisme seolah-olah perlu diciptakan kembali. [Niels Murder, 2005:246-251]

Ketika Filipina akhirnya mencapai kemerdekaannya, semangat kebangsaan disirami secara efektif oleh gelombang kedua dominasi budaya yang rasialis. Amerika membawakan kemoderenan, kemajuan, demokrasi, pendidikan dalam bahasa Inggris, dan agama Protestan kepada semua kantong penduduk, terkecuali yang muslim, yang sebelumnya tetap tidak terjangkau oleh Spanyol. Sekali lagi, bangsa Filipina kewalahan. Mereka adalah betul-betul rakyat yang ditaklukkan, kehilangan peradaban mereka sendiri dengan menerima peradaban asing. Seperti itulah akar kegusaran orang Filipina, tidak hanya terhadap dunia kulit putih, tetapi pertama-tama terhadap diri mereka sendiri dan keadaan hidup mereka. Mereka mengembangkan hubungan cinta dan benci dengan diri mereka sendiri, dan dengan para penjajah. [Niels Murder, 2005:271]

Dengan semakin gencarnya perluasan militer, politik dan ekonomi, secara berturut-turut oleh penguasa Spanyol, Amerika dan Republik Filipina, pada 1948 jumlah masyarakat Moro di Filipina Selatan telah menjadi kurang dari separoh (38 %). Faktor utama penurunan jumlah ini adalah karena migrasi terencana dan besar-besaran ke tanah Moro dari bagian utara Filipina. Akibatnya bukan hanya masyarakat Moro menjadi semakin terjepit, mereka juga semakin terisolasi. Mereka tidak siap menghadapi persaingan di hampir semua bidang, apalagi lahan perekonomian tradisional merekapun terpaksa ikut diperebutkan. [Azyumardi Azra, 314-315]

Upaya pemerintah Amerika Serikat yang kemudian dilanjutkan pemerintah Republik Filipina untuk mengintegrasikan masyarakat Moro melalui akomodasi elit muslim, ternyata tidak berhasil. Kecenderungan untuk menganakemaskan kelompok kecil ini tidak membuka saluran bagi masyarakat muslim secara keseluruhan. Akibatnya elit tersebut justeru kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Moro, walaupun mereka menjadi agen pemerintah pusat. Karena itu pada pertengahan tahun 1960-an, muncullah berbagai upaya untuk mengadakan perubahan. Di situ muncul tokoh muda yang menolak status quo dan bahkan gagasan-gagasan pemisahan diri dari negara Filipina mulai dibangkitkan. Diantara mereka adalah Datu Utdog Matalam dan Nur Misuari, yang kemudian mendirikan MNLF (Moro National Liberal Front) atau Front Pembebasan Nasional Moro pada tahun 1969 [Dinamika Asia Tenggara, 315]. dengan tujuan menuntut kemerdekaan wilayah Mindanao dari pemerintah Filipina. Perjuangan MNLF ini mendapat dukungan dana dan persenjataan dari negara Islam lainnya, seperti Libya dan Malaysia.

Perjuangan masyarakat Moro pada tahun 1970-an telah dimulai dengan gerakan bersenjata. Puncak perjuangan ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Tripoli antara Manila dan para pemimpin MNLF pada tahun 1976. Berdasarkan perjanjian tersebut, masyarakat Moro akan mendapatkan otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan, yakni Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, North Cotabato, Manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South Cotabato dan Palawan. Presiden Ferdinant Marcos kemudian membuat penafsiran sendiri terhadap perjanjian dan menyatakan ”hak otonomi” atas dua wilayah, yaitu Sulu dan Mindanao Barat serta Mindanao Tengah. Walaupun ditolak oleh para pendukung MNLF dengan menghidupkan kembali perlawanan bersenjata, Marcos terus membuat manuver untuk mendekati kelompok muslim yang dapat diajak bekerjasama. Perpecahan-pun terjadi di kalangan pimpinan MNLF. Puncak kebijakan ini adalah pembentukan KUI (Kementerian Urusan Islam) pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah formal ini diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka [Dinamika Asia Tenggara, 315].

Tekanan pemerintahan Marcos menyebabkan munculnya berbagai gerakan perjuangan bangsa Moro, seperti Muslim Independent Movement (MIM) pada tahun 1971. Karena perbedaan visi dan orientasi perjuangan, MNL (Moro National Liberation) yang tadinya diharapkan menjadi induk gerakan pembebasan bangsa Moro-akhirnya pecah. Dari sini muncul dua kelompok, yakni kelompok nasionalis-sekuler pimpinan Nur Misuari yang mendirikan Moro National Liberation Front (MNLF) dan kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang dipimpin oleh Hashim Salamat. Dalam perjalanannya, MNLF pun akhirnya terpecah lagi dengan munculnya kelompok MNLF Reformis di bawah pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf di bawah pimpinan Abdulrazaq Janjalani (1993).

Perjuangan MNLF mulai menonjol setelah presiden Ferdinant Marcos memberlakukan Hukum keadaan Darurat pada 2 September 1972 yang diikuti oleh upaya militer, yakni pelucutan senjata kaum Moro. Akibatnya, konflikpun semakin meningkat antara pihak Moro dan pemerintah antara tahun 1973-1976. Pada tahun 1974 komite pusat MNLF mengeluarkan manifesto yang menuntut berdirinya Republik Bangsa Moro independen, yang wilayahnya terdiri atas Pulau Mindanao, Pulau Basilan, Pulau Sulu dan Pulau Palawan. Namun tuntutan tersebut kemudian diturunkan hingga hanya menjadi otonomi politik dan luas wilayah yang diminta pun diperkecil menjadi 13 propinsi dan 11 kota. Perubahan tuntutan itu terjadi setelah diadakan perundingan antara MNLF dan pemerintah Filipina di Jeddah Arab Saudi pada tahun 1975. [Niels Murder, 2005:251-254]

Pada tanggal 23 Desember 1976 perundingan antara kedua pihak diadakan kembali. Perjanjian yang dikenal dengan nama Tripoli Agrement (Perjanjian Tripipoli) ini berisi kesepakatan untuk memberikan kepada kaum Moro otonomi 13 propinsi Mindanao, yaitu Propinsi Lanao del Norte, Lanao del Sur, North Cotabato, South Cotabato, Zamboanga del Norte, Zamboanga del Sur, Manguindanao, Sultan Kudarat, Davao del Sur, Sulu, Tawi-Tawi, Basilan dan Palawan. Akan tetapi pelaksanaan perjanjian tersebut hingga masa pemerintahan Presiden Fidel V Ramos (sejak 1992) belum terwujud sepenuhnya. Aksi pemberontakan MNLF pun masih berlanjut, demikian juga upaya diplomatik dari negara muslim yang mendesak pemerintah Filipina memenuhi tuntutan MNLF.

Pada tahun 1977 MNLF mengalami perpecahan. Faktor penyebab perpecahan itu antara lain adalah adanya fanatisme kesukuan antar kaum Moro sendiri dan ambisi pribadi untuk saling merebut pengaruh di kalangan pemimpinnya. Perpecahan itu menimbulkan organisasi baru, yaitu: MILF, MNLF-RG dan BMLO.

Dari perjuangan yang telah dicapai MNLF, ada sejumlah tuntutan yang sudah dipenuhi pada masa pemerintahan Presden Ferdinant Marcos (1965-1986) dan Presiden Corazon Aquino (1986-1992) antara lain diakuinya budaya Islam dan dan Bangsa Moro, dibentuknya peradilan berdasarkan syariat, dan diberikannya otonomi wilayah, kendatipun masih secara terbatas. Sejumlah pemimpin tertinggi MNLF memperoleh kedudukan politik dalam pemerintahan dan peluang ekonomi yang lebih besar. Pada masa pemerintahan Fidel V Ramos beberapa tuntutan juga disepakati setelah melalui serangkaian perundingan.

Upaya-upaya menuju perdamaian mulai kembali dilakukan secara intensif ketika Presiden Filipina berada di bawah kendali Presiden Cory Aquino. Kebijakan ini kemudian diteruskan oleh Presiden Fidel Ramos. Banyak pengamat mengatakan bahwa sikap ini didorong berbagai pertimbangan pemerintah yang agak hati-hati, khususnya menyangkut nasib 650.000 pekerja yang berasal dari Filipina di kawasan Arab yang setiap tahun mendatangkan devisa jutaan dollar. Cory Aquino mengambil langkah sepihak pada 1989, yakni mengadakan referendum untuk membentuk Wilayah Otonomi Muslim Minadanao (ARMM) yang ditolak MNLF)

Pada April 1993 perundingan antara MNLF dan pemerintah Filipina dilangsungkan di Jakarta dengan pemerintah Indonesia sebagai moderator. Perundingan yang disaksikan oleh pejabat OKI (Organisasi Konperensi Islam) itu menyepakati penyelesaian masalah kedua pihak melalui perundingan dan akan mengimplementasikan Perundingan Tripoli yang pernah mereka lakukan pada 1976.

Perundingan selanjutnya dilakukan di kota Zamboanga Filipina Selatan pada April 1994. Perundingan ini hampir gagal karena kedua belah pihak yang bertikai dan tidak sepakat mengenai jumlah pengawal yang akan menjaga Nur Misuari, pemimpin MNLF kala itu. Akhirnya perundingan berhasil dilangsungkan dan menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain 60% pendapatan dari pajak daerah akan masuk ke kas daerah otonomi dan sisanya ke kas pusat.

Serangkaian perundingan kemudian diadakan di Jakarta sejak Oktober 1993. Indonesia memainkan peran penting dalam perundingan itu sebagai fasilitator. Pada November 1995 diadakan perundingan selanjutnya di Jakarta. Dalam perundingan ini pihak MNLF diwakili Nur Misuari, sementara Pemerintah Filipina diwakili Manuel T Yan (Duta Besar Filipina untuk Indonesia). Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pada waktu itu Ali Alatas mewakili pemerintah Indonesia sebagai fasilitator. Perundingan ini berakhir dengan penandatangan kesepakatan yang dicapai meliputi pembangunan dalam berbagai bidang, seperti: pendidikan, ekonomi dan sistem keuangan, pertambangan dan mineral, sistem administrasi, perwakilan dalam pemerintah nasional, dewan ekskutif dan majlis legislatif, serta peradilan dan penerapan hukum syari’ah (hukum Islam). Kedua pihak juga sepakat mengenai bentuk dan struktur pemerintahan otonomi serta rencana penggabungan pasukan MNLF ke dalam Tentara Republik Filipina. Namun mereka belum sepakat tentang implementasi dan mekanisme kesepakatan ini.

Setelah bertahun-tahun terjadi konflik, Presiden Fidel Ramos dan Misuari menyetujui kesepakatan damai pada 1996. Pada tahun yang sama, Misuari juga terpilih menjadi Gubernur daerah otonom. Namun konflik antara MNLF dan pemerintah Filipina tetap saja berkepanjangan hingga abad ke-21. Selama tiga dekade terakhir abad ke 20, konflik antara kelompok gerilyawan Moro dan pemerintah telah memakan korban tewas sekitar 100.000 orang. [Azyumardi Azra dalam Abdul Aziz Dahlan, 2005:45-47]

Pemerintah Filipina menilai bahwa selama lima tahun pemerintahan Nur Misuari di Daerah Otonomi Islam Mindanao tersebut, tidak berkembang. Bahkan Misuari dituduh telah menyalahgunakan kekuasaannya dengan memanipulasi dana pembangunan. Sebaliknya, Misuari menuduh pemerintah Filipina tidak merealisasikan dana pembangunan untuk rakyat Mindanao, sehingga menyebabkan dua juta rakyat muslim kawasan itu menjadi warga paling miskin di Filipina. Karena itulah ia menawar masa jabatannya sebagai gubernur agar diperpanjang sampai 2003. Akan tetapi usulan ini ditolak oleh pemerintah Filipina [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Dari pihak bangsa Moro-pun Misuari telah kehilangan dukungan dan kepercayaan. Ia hanya didukung oleh tidak lebih dari 300 pejuang Moro. Pada bulan Mei 2001 ia tidak lagi menjabat sebagai ketua MNLF, melainkan sekedar ketua Kehormatan yang tidak memiliki wewenang apapun [Dinamika Asia Tenggara, 315].

Nur Misuari bukannya tidak berusaha merebut kembali simpati bangsa Moro. Pada Juni 2001 ia menyodorkan sebuah proposal berdirnya negara merdeka untuk bangsa Moro. Akan tetapi kredibilitas Misuari pada kenyataannya sudah jatuh di mata kelompok-kelompok Moro. Maka proposal itupun tidak mendapat tanggapan dari bangsa Moro.

Akar dari semua masalah hak otonomi bagi bangsa Moro dan proses pemilihan gubernur baru pengganti Misuari inilah mengakibatkan terjadinya perlawanan Misuari dan pengikutnya selama lima hari di Jolo Filipina Selatan, di akhir November 2001. Perlawanan itu mengakibatkan Misuari tertangkap di Sabah Malaysia saat ia berusaha melarikan diri ke Malaysia [Dinamika Asia Tenggara, 315].

B. Pembahasan: Upaya Melihat Faktor yang Berpengaruh terhadap gerakan Islam di Filipina

Menurut pengamatan penulis buku "Nagasura Madale", seorang pengamat masalah nasionalisme dan perkembangan Islam di Filipina, setidaknya terdapat lima faktor yang mempengaruhi kebangkitan kembali Islam di Filipina:

Pertama, banyaknya warga muslim yang terpengaruh kesadaran kebangkitan dunia Islam, terutama setelah mereka melihat fenomena itu ketika mereka menunaikan ibadah haji di Mekkah. Setelah mereka kembali ke masyarakat dengan prestise dan kesadaran keagamaan yang meningkat. Masjid-masjid baru didirikan dengan bantuan dari organisasi-organisasi Muslim dari luar negeri. [John L Esposito,1991: II: 66]

Kedua, semakin menjamurnya berbagai kelompok dan organisasi Islam yang mendapatkan dukungan, baik dari komunitas Islam lokal maupun luar negeri.

Ketiga, berdirinya madrasah, sekolah dan perguruan tinggi, baik secara khusus maupun tidak, yang memberikan pendidikan keagamaan dan menawarkan program-program studi keislaman. Madrasah baru didirikan , dengan bantuan dari organisasi-organisasi Muslim dari luar negeri. Pemerintah Mesir menawarkan beasiswa bagi orang-orang Moro untuk belajar ke Universitas Al-Azhar di Kairo. Beberapa ulama pindah ke beberapa universitas di Kairo yang lain, serta Akademi Militer Mesir. Para guru muslim juga datang dari luar negeri untuk mengajar di wilayah Moro dalam beberapa tahun. Rasa bangga dan prestasi muncul di kalangan anak muda Moro. [John L Esposito,1991: II: 66]

Keempat, pengaruh peristiwa pemberontakan Moro, yang melahirkan dan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan kelompok Islam di Filipina. Sebagai tambahan, berbagai kebijakan pemerintah Filipina yang mendiskriminasikan kaum muslim semakin menguatkan kesadaran akan pentingnya kebangkitan kembali Islam.

Kelima, sikap politik pemerintah Filipina dalam menghadapi tuntutan bangsa Moro sangat jelas. Mereka tidak mungkin akan membiarkan orang-orang Islam memisahkan dan memerdekakan diri. Meskipun akhirnya dalam perkembangan terakhir politik nasional Filipina, orang-orang Moro diberi otonomi, hal itu tidak menghilangkan potensi konflik yang bisa muncul kembali. Apalagi, seperti pernah diprediksikan Cesar Adib Majul, otonomi yang diberikan pemerintah Filipina tidak selalu sepenuhnya berarti dan dapat diterima masyarakat Islam. Pada akhir dekade 1990-an, perlawanan beberapa kelompok dari bangsa Moro kembali muncul, seperti yang dilakukan kelompok gerilyawan Abu Sayyaf, menyusul ketidakpuasan mereka terhadap perjuangan bangsa Moro selama ini dan berbagai keputusan dan kebijakan pemerintah pusat Filipina terhadap kelompok muslim.

Sedangkan faktor-faktor terjadinya gerakan Islam di Filipina, secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

1. Faktor Intern

Warga Filipina tidak dikaruniai kesadaran yang kuat sebagai bangsa (nasionalisme), dan secara terbuka mengeluhkan kurangnya kesatuan dan solidaritas . Negara tidak dilihat sebagai ayah dan tidak mendapat banyak kepercayaan atau kesetiaan . Akan tetapi, hal ini harus berubah. Negara sedang berkembang menjadi bangsa. Di bawah konstitusi dan dengan praktek demokrasi, negara, pemerintahan dan hukum, penghormatan kepada martabat manusia, kebebasan dan persamaan akan terwujud menjadi kenyataan. [Niels Murder, 2005:246-265]

Karena lahir dari kolonialisme, Filipina adalah negara pertama di Asia yang memberontak melawan dominasi asing, dan yang berjuang untuk merebut kemerdekaannya dengan berhasil. Di Filipina, nasionalisme tidak pernah digabungkan dengan gagasan rekonstruksi sosial, sekurang-kurangnya itu tidak dilakukan oleh mereka yang menduduki dan memiliki otoritas di pusat pemerintahan dalam panggung politik. Sehingga sangat diperlukan gagasan nasionalisme yang mempersatukan. [Niels Murder, 2005:246-247]

Sekalipun terdiri dari berbagai kelompok etnis yang berbeda, masyarakat muslim Filipina memiliki banyak persamaaan dalam bahasa yang digunakan. Misalnya, terdapat banyak kesamaan antara bahasa Manguindanao dan Maranao, sehingga kedua pengguna bahasa ini bisa saling memahami. Juga banyak kedekatan secara linguistik diantara bahasa dan dialek yang digunakan sebagian orang Islam dan Kristen, seperti bahasa Tausug yang mirip dengan bahasa Tagalog dan Visayan - dua bahasa yang digunakan secara luas oleh kelompok Kristen. Menurut ahli bahasa Modern, semua bahasa dan dialek tersebut berasal dari rumpun bahasa yang sama. [Taufik Abdullah, 2002:484]

Kalangan muslim modernis Filipina beranggapan bahwa sistem yang berlaku sekarang di Filipina tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kalangan ini berpendapat, masuknya hukum Islam bagi kalangan muslim Filipina ke dalam sistem hukum Filipina dan kerjasama dengan kelompok penganut agama lain, khususnya Kristen Katholik, telah memperdalam keimanan mereka. Kenyataan ini juga telah mempertegas kesadaran keumatan mereka. Kecenderungan seperti ini bukan merupakan implementasi konsep umat sebagai masyarakat politik yang berangkat dari kesadaran perbedaan wilayah geografis, tetapi merupakan sebuah kenyataan sosial, yang menurut istilah George D. Decasa, seorang rohaniawan Katholik Filipina yang mengkaji masalah Islam, merupakan ”realitas sosial”. [Taufik Abdullah, 2002:480]

Perjuangan masyarakat Moro pada tahun 1970-an telah dimulai dengan gerakan bersenjata. Puncak perjuangan ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Tripoli antara Manila dan para pemimpin MNLF pada tahun 1976. Berdasarkan perjanjian tersebut, masyarakat Moro akan mendapatkan otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan, yakni Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, North Cotabato, manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South Cotabato dan Palawan.

Namun, baik otonomi yang diberikan oleh rezim Marcos pada tahun 1977 maupun Corazon Aquino pada tahun 1989 tidak memuaskan harapan OKI (Organisasi Konperensi Islam) dan tuntutan MNLF. Pada awal tahun 1989, MNLF memperbaharui tuntutannya untuk memisahkan diri, sambil mencari status keanggotaan di OKI. [John L Esposito, 1991, II:66]

Presiden Ferdinant Marcos kemudian membuat penafsiran sendiri terhadap perjanjian dan menyatakan ”hak otonomi” atas dua wilayah, yaitu Sulu dan Mindanao Barat serta Mindanao Tengah. Walaupun ditolak oleh para pendukung MNLF dengan menghidupkan kembali perlawanan bersenjata, Marcos terus membuat manuver untuk mendekati kelompok muslim yang dapat diajak bekerja sama. Perpecahan pun terjadi di kalangan pimpinan MNLF. Puncak kebijakan ini adalah pembentukan KUI (Kementerian Urusan Islam) pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah formal ini diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Dalam menjalankan tugasnya KUI menekankan integrasi dengan membuka kesempatan kepada masyarakat Moro untuk berperan aktif dalam pembangunan dan kehidupan bernegara sejajar dengan masyarakat Filipina lainnya. Penekanan dari peran KUI ditujukan pada pembinaan lembaga sosial budaya dan pembangunan ekonomi. Prioritas diberikan kepada pembinaan pelayanan hukum Islam kepada masyarakat Moro. Untuk itu dibentuklah badan peradilan syariat yang sejajar dengan peradilan umum. Bagi keperluan ini pengembangan sumber pelaksana hukum syariat (kadi) juga dilancarkan. Hasilnya cukup memuaskan. Bukan hanya calon kadi menjadi berkualitas dan banyak jumlahnya, namun juga sambutan masyarakat muslim cukup besar [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Secara umum KUI menekankan pembaruan. Melalui kerjasama dan koordinasi dengan kementerian lain, instansi dan berbagai lembaga swasta lainnya, KUI berusaha membuat kerjasama sebanyak dan sebaik mungkin. Jalur utama yang ditempuh bertumpu pada perbaikan standar kehidupan. Ini mencakup peningkatan mutu lembaga pendidikan (madrasah), mobilisasi dan penyaluran dana kepada masyarakat muslim, penyediaan latihan ketrampilan, peningkatan taraf ekonomi masyarakat pedesaan, peningkatan partisipasi kaum wanita, perlindungan hak tanah, penyediaan beasiswa kepada pemuda muslim, dan pengelolaan pemukiman serta jasa kesehatan. Di samping itu dilakukan usaha untuk meningkatkan fasilitas budaya dan keagamaan bagi masyarakat muslim. Usaha ke arah ini terlihat dengan penunjukan amirul hajj, yaitu pemimpin rombongan haji nasional, pada musim haji tahun 1982, pengadaan perlombaan membaca al-Qur’an (semacam MTQ) secara meluas dan rutin, pembinaan masjid, dan koordinasi kegiatan para ulama [Dinamika Asia Tenggara, 315].

Timbul dan bangkitnya MNLF dapat dianggap sebagai faktor penting yang memaksa pemerintah untuk pada akhirnya menghadapi masalah Islam. Hal itu telah membuat pemerintah tidak lama menyadari bahwa MNLF bukan hanya merupakan gerakan ideologi yang dahsyat dengan Islam sebagai benderanya. Kesetiaan yang dimilikinya, menarik untuk diketahui banyak pihak di luar batas-batas regional dan linguistik.

MNLF terus menarik dukungan yang meluas, atau sedikit-dikitnya simpati. Lebih dari organisasi lainnya di dalam negeri, MNLF telah membangkitkan keprihatinan internasional akan keadaan umat Islam Filipina yang menyedihkan. MNLF dapat memperoleh dan sedemikian jauh telah dipertahankannya pengakuan dari konperensi para Menteri Luar Negeri (ICFM) sebagai eksponen yang sah bagi perjuangan Islam bersenjata di Filipina, meskipun ada tawaran yang kuat bagi status tersebut dari para pemimpin dan organisasi Islam lainnya.

2. Faktor Ekstern

Di Filipina pengaruh asing dilihat sebagai pengaruh yang merusak seluruh tatanan sosial yang sehat. Masalah ini sudah lama sekali merundung Filipina, tetapi menjadi bertambah genting selama masa penjajahan AS. Warisan penjajahan ini harus dipersalahkan atas kepopuleran barang asing, yang kerap kali disebut sebagai ”mentalitas kolonial kita” dan atas adanya kompleks rendah diri berhadapan dengan orang kulit putih, yang dengan demikian menimbulkan kebudayaan meniru-niru seperti budak. Kekaguman akan kebudayaan asing yang kurang sehat merasuki seluruh sistem pendidikan dan media dalam bahasa Inggris, dan membuat penguasaan bahasa Inggris menjadi tanda utama harga diri. Akibatnya ada banyak orang yang mengira bahwa pendidikan sekolah di Filipina tidak berhubungan dengan dan terputus dari kebudayaan nyata rakyat Filipina. [Niels Murder, 2005:280]

Sebagai komunitas kedua setelah Katholik, maka komunitas muslim di Filipina sampai dengan kini mendapatkan perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan komunitas Katholik. Hal tersebut nampak misalnya dalam kurun waktu antara tahun 1950-an sampai dengan 1960-an, dimana pada dekade tersebut pemerintah Filipina menerapkan program pengembangan dan integrasi nasional. Program ini mengakibatkan membanjirnya kaum Kristen ke wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim. Program tersebut dinilai oleh penduduk muslim sebagai upaya pemerintah untuk menghancurkan komunitas muslim Filipina. Selain itu mereka merasa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak pernah mencapai daerahnya.

Sikap dan tindakan pemerintah Filipina tersebut mendorong kaum Moro untuk membentuk gerakan yang terorganisasi. Salah satu diantaranya adalah gerakan yang dibentuk oleh sekelompok intelektual muda muslim pada tahun 1969 yang disebut MNLF. Ini mendapat dukungan dana dan persenjataan dari Negara Islam lainnya, seperti Libya dan Malaysia. [Azyumardi Azra, 2005:46]

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Filipina tersebut nampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan terhadap bangsa Filipina sebelum merdeka oleh para penjajah, baik Spanyol maupun Amerika Serikat (1898 - 1935). Para penjajah melakukan politik adu domba (devide et impera) antara komunitas muslim dengan komunitas Katholik. [Azyumardi Azra, 2005:46]

Sikap politik pemerintah Filipina dalam menghadapi tuntutan bangsa Moro sangat jelas. Mereka tidak mungkin akan membiarkan orang-orang Islam memisahkan dan memerdekakan diri. Meskipun akhirnya dalam perkembangan terakhir politik nasional Filipina, orang-orang Moro diberi otonomi, hal itu tidak menghilangkan potensi konflik yang bisa muncul kembali. Apalagi, seperti pernah diprediksikan Cesar Adib Majul, otonomi yang diberikan pemerintah Filipina tidak selalu sepenuhnya berarti dan dapat diterima masyarakat Islam. Pada akhir dekade 1990an, perlawanan beberapa kelompok dari bangsa Moro kembali muncul, seperti yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf, menyusul ketidakpuasan mereka terhadap perjuangan bangsa Moro selama ini dan berbagai keputusan dan kebijakan pemerintah pusat Filipina terhadap kelompok muslim.

Membanjirnya para pemukim Kristen ke wilayah-wilayah Muslim secara tidak terkendali, sering dengan dukungan pemerintah, penelantaran nasional yang terus menerus terhadap aspirasi ekonomi dan pendidikan bangsa Moro, diskriminasi yang nyata-nyata dalam melayani kaum Muslim di kantor-kantor di tingkat nasional, hilangnya kekuasaan politik para pemimpin Moro di daerah kekuasaan mereka semula.

Konflik tajam mengenai tanah antara antara penduduk Moro dan Kristen. Kekuatan-kekuatan ini secara progresif menyebabkan meningkatnya pertikaian bersenjata antar kelompok Kristen dan Moro, kepolisian dan tentara biasanya memihak yang pertama. Moro meneriakkan adanya ”pembasmian etnis” untuk menarik simpati Dunia Muslim. [John L Esposito, 1991,II:66]

C. Penutup

Yang tidak dapat dilupakan dari masyarakat muslim Moro di Filipina adalah bahwa mereka terus menunjukkan dinamika beragama dan bermasyarakat kendati dalam situasi yang tidak menentu. Mereka terus meningkatkan usaha pendidikan . Hubungan dengan dunia Islam dan gerakan dakwah internasional maupun regional terus dikembangkan. Umpamanya sejak tahun 1980-an pengaruh gerakan Jamah Tablig di kalangan masyarakat Moro, terutama yang tinggal di perkotaan, semakin meningkat. Begitu juga dengan peningkatan berbagai segi kehidupan sosial. [Azyumardi Azra, 315-317]

Secara umum kebangkitan Islam di Filipina berkembang dalam dua paradigma. Pertama paradigma radikal yang dikembangkan oleh para aktifis MNLF, yang semula merupakan kelompok minoritas di kalangan Islam, MNLF pernah melahirkan manifesto yang menyerukan kemerdekaan bagi bangsa Moro. Kedua, pandangan moderat yang didukung oleh banyak kelompok Islam, yang menginginkan adanya berbagai perubahan sosial dalam konteks lebih luas. Pandangan terakhir ini, misalnya dikemukakan oleh aktifis muslim moderat, Allan Mangorsi. Ia menginginkan dihapuskannya berbagai prasangka dan perasaan-perasaan ”kecurigaan yang tidak beralasan” yang seringkali menjadi alasan penindasan kelompok lain terhadap warga muslim Filipina. Ia mengusulkan adanya upaya menciptakan pemerintahan regional otonom di wilayah muslim dan menegakkan keterwakilan kalangan Islam dan kelompok minoritas lainnya dalam politik nasional Filipina.

Para pemimpin Islam Filipina, khususnya kaum politisi dan golongan moderat, telah menunjukkan kesadaran yang lebih besar terhadap penderitaan dan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya, kaum muslimin di seluruh dunia telah mempelajari penindasan terhadap saudara-saudara mereka sesama muslim di Filipina. Perubahan umum atas kehendak ini tampak menyebar ke seluruh bagian penduduk Filipina, termasuk orang-oranmg Kristen, ada kecenderungan yang pasti untuk menerima, menghargai dan bersimpati dengan orang-orang Islam. Perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik ini timbul, karena begitu banyak orang Islam telah memperjuangkannya dengan pengurbanan nyata yang besar. Dan kekuatan utama di balik perjuangan yang terus menerus akan kemerdekaan, adalah masih tetap pada MNLF. [Cesar Adib M,1986: 104]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun tampaknya kedua pendekatan ini mengandung perbedaan visi dan pendekatan, terdapat kesepakatan di kalangan Islam, bahwa kaum muslim Filipina menginginkan terbentuknya kedaulatan umat Islam, sehingga mereka bisa hidup bebas berdampingan secara damai dengan kolega-kolega Filipina lainnya yang beragama Nasrani.

Mungkin hanya dengan penyelesaian masalah otonomi yang adil dapat diharapkan keterbukaan dan partisipasi masyarakat Moro dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang paripurna [Dinamika Asia Tenggara, 315].

-------------------------------------

Daftar Pustaka

Tnp, Domestic and External Factors Influencing The Islamic Movement in Mindanao, Makalah dalam internet, tidak diterbitkan.

Abdullah, Taufik, (Editor) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002

Azra, Azyumardi, (Pemimpin Redaksi), Ensiklopedi Islam dalam Dinamika Asia Tenggara , 5 jilid, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005

Esposito, John L., The Oxford Encyclopedi of The Modern Islamic World, New York Oxford University Press, 1987

Esposito, John L, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, 6 Jilid, Bandung: Mizan, 2001

Majul, Cesar A, Dinamika Islam Filipina, Jakarta: LP3S, 1989

Mulder, Niels, Wacana Publik Asia Tenggara, Yogyakarta: Kanisius, 2005

Nathan, KS, dan Kamali, Hashim, Islam in Southeast Asia: Political, social and strategic challeges for the 21st century, Singapore: Institut of Southeast Asian Studies

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve

------------------29Mei2009-------------------

TAMBAHAN

Pada tahun 1948 jumlah masyarakat Moro di Filipina Selatan telah menjadi kurang dari separuh (38%). Dan pada tahun 1970 telah menjadi 21 %. Faktor utama penurunan jumlah ini adalah karena migrasi terencana dan besar-besaran ke Tanah Moro dari bagian utara Filipina. Akibatnya bukan hanya masyarakat Moro menjadi semakin terjepit, mereka juga semakin terisolasi. Mereka tidak siap terjadi persaingan di hampir semua bidang, apalagi lahan perekonomian tradisional mereka-pun terpaksa ikut diperebutkan [Dinamika Asia Tenggara, 315].

Upaya pemerintah Amerika Serikat yang kemudian dilanjutkan pemerintah Republik Filipina untuk mengintegrasikan masyarakat Moro melalui akomodasi elit muslim, ternyata tidak berhasil. Kecenderungan untuk menganakemaskan kelompok kecil ini tidak membuka saluran bagi masyarakat muslim secara keseluruhan. Akibatnya elit tersebut justeru kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Moro, walaupun mereka menjadi agen pemerintah pusat. Karena itu pada pertengahan tahun 1960-an, muncullah berbagai upaya untuk mengadakan perubahan. Di situ muncul tokoh muda yang menolak status quo dan bahkan gagasan-gagasan pemisahan diri dari negara Filipina mulai dibangkitkan. Diantara mereka adalah Datu Utdog Matalam dan Nur Misuari, yang kemudian mendirikan MNLF (Moro National Liberal Front) atau Front Pembebasan Nasional Moro pada tahun 1969 [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Perjuangan masyarakat Moro pada tahun 1970-an telah dimulai dengan gerakan bersenjata. Puncak perjuangan ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Tripoli antara Manila dan para pemimpin MNLF pada tahun 1976. Berdasarkan perjanjian tersebut, masyarakat Moro akan mendapatkan otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan, yakni Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, North Cotabato, manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South Cotabato dan Palawan. Presiden Ferdinant Marcos kemudian membuat penafsiran sendiri terhadap perjanjian dan menyatakan ”hak otonomi” atas dua wilayah, yaitu Sulu dan Mindanao Barat serta Mindanao Tengah. Walaupun ditolak oleh para pendukung MNLF dengan menghidupkan kembali perlawanan bersenjata, Marcos terus membuat manuver untuk mendekati kelompok muslim yang dapat diajak bekerja sama. Perpecahan pun terjadi di kalangan pimpinan MNLF. Puncak kebijakan ini adalah pembentukan KUI (Kementerian Urusan Islam) pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah formal ini diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Dalam menjalankan tugasnya KUI menekankan integrasi dengan membuka kesempatan kepada masyarakat Moro untuk berperan aktif dalam pembangunan dan kehidupan bernegara sejajar dengan masyarakat Filipina lainnya. Penekanan dari peran KUI ditujukan pada pembinaan lembaga sosial budaya dan pembangunan ekonomi. Prioritas diberikan kepada pembinaan pelayanan hukum Islam kepada masyarakat Moro. Untuk itu dibentuklah badan peradilan syariat yang sejajar dengan peradilan umum. Bagi keperluan ini pengembangan sumber pelaksana hukum syariat (kadi) juga dilancarkan. Hasilnya cukup memuaskan. Bukan hanya calon kadi menjadi berkualitas dan banyak jumlahnya, namun juga sambutan masyarakat muslim cukup besar [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Secara umum KUI menekankan pembaruan. Melalui kerjasama dan koordinasi dengan kementerian lain, instansi dan berbagai lembaga swasta lainnya, KUI berusaha membuat kerjasama sebanyak dan sebaik mungkin. Jalur utama yang ditempuh bertumpu pada perbaikan standar kehidupan. Ini mencakup peningkatan mutu lembaga pendidikan (madrasah), mobilisasi dan penyaluran dana kepada masyarakat muslim, penyediaan latihan ketrampilan, peningkatan taraf ekonomi masyarakat pedesaan, peningkatan partisipasi kaum wanita, perlindungan hak tanah, penyediaan beasiswa kepada pemuda muslim, dan pengelolaan pemukiman serta jasa kesehatan. Di samping itu dilakukan usaha untuk meningkatkan fasilitas budaya dan keagamaan bagi masyarakat muslim. Usaha ke arah ini terlihat dengan penunjukan amirul hajj, yaitu pemimpin rombongan haji nasional, pada musim haji tahun 1982, pengadaan perlombaan membaca al-Qur’an (semacam MTQ) secara meluas dan rutin, pembinaan masjid, dan koordinasi kegiatan para ulama [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Pergantian pemimpin nasional Filipina pada tahun 1986 juga membawa angin segar bagi masyarakat Moro. Tidak lama setelah resmi berkuasa, Presiden Corazon Aquino mengadakan pertemuan dengan MNLF, termasuk Nur Misuari di Jolo. Walaupun Aquino gagal menciptakan perjanjian dengan MNLF, Aquino telah memasukkan rencana otonomi untuk masyarakat Moro ke dalam Konstitusi baru Filipina. Bahkan setelah memelalui Plebisit pada akhir 1986 telah dibentuk empat propinsi muslim yang berstatus otonom, yaitu Lanao Selatan, Manguindanao, Sulu dan Tawi-Tawi [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Pengganti Aquino, Jenderal Fidel Ramos kelihatan lebih yakin untuk mencapai penyelesaian akhir bagi masalah Moro. Pada tahun 1992, Ramos mengusulkan pembentukan wilayah otonom di selatan yang terdiri dari tigabelas propinsi seperti yang disetujui dalam Perjanjian Tripoli tahun 1976. Untuk tujuan ini dibentuk SPCPD (Southern Phillipines Council for Peace and Development atau Dewan Perdamaian dan Pembangunan Filipina). Bahkan Nur Misuari telah diangkat menjadi ketua badan ini. Penandatanganan Perjanjian Perdamaian telah dilakukan pada tanggal 2 September 1996. Perjanjian tersebut dicapai setelah serangkaian perundingan di Jakarta yang dimulai pada bulan Oktober tahun 1993. Dan Indonesia memainkan peran penting dalam perundingan tersebut sebagai fasilitator. Walaupun tidak semua unsur gerakan Moro mengikuti langkah Nur Misuari, namun nampak bahwa usaha perdamaian tersebut mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat Moro [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Selanjutnya ketigabelas propinsi di Filipina selatan dibentuk menjadi ZOPAD, Zone of Peace and Development atau Zone Perdamaian dan Pembangunan, dengan empat propinsi yang mayoritas muslim tetap menikmati otonomi (Lanao Selatan, Manguindanao, Sulu dan Tawi-Tawi) . Keempat propinsi tersebut disatukan dengan nama Daerah Otonomi Islam Mindanao dan Nur Misuari diangkat sebagai gubernur pertama wilayah otonomi muslim tersebut di samping sebagai ketua SPCPD [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Pemerintah Filipina menilai bahwa selama lima tahun pemerintahan Nur Misuari di Daerah Otonomi Islam Mindanao tersebut, tidak berkembang. Bahkan Misuari dituduh telah menyalahgunakan kekuasaannya dengan memanipulasi dana pembangunan. Sebaliknya, Misuari menuduh pemerintah Filipina tidak merealisasikan dana pembangunan untuk rakyat Mindanao, sehingga menyebabkan dua juta rakyat muslim kawasan itu menjadi warga paling miskin di Filipina. Karena itulah ia menawar masa jabatannya sebagai gubernur agar diperpanjang sampai 2003. Akan tetapi usulan ini ditolak oleh pemerintah Filipina [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Dari pihak bangsa Moro-pun Misuari telah kehilangan dukungan dan kepercayaan. Ia hanya didukung oleh tidak lebih dari 300 pejuang Moro. Pada bulan Mei 2001 ia tidak lagi menjabat sebagai ketua MNLF, melainkan sekedar ketua Kehormatan yang tidak memiliki wewenang apapun [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Nur Misuari bukannya tidak berusaha merebut kembali simpati bangsa Moro. Pada Juni 2001 ia menyodorkan sebuah proposal berdirnya negara merdeka untuk bangsa Moro. Akan tetapi kredibilitas Misuari pada kenyataannya sudah jatuh di mata kelompok-kelompok Moro. Maka proposal itupun tidak mendapat tanggapan dari bangsa Moro.

Akar dari semua masalah hak otonomi bagi bangsa Moro dan proses pemilihan gubernur baru pengganti Misuari inilah mengakibatkan terjadinya perlawanan Misuari dan pengikutnya selama lima hari di Jolo Filipina Selatan, di akhir November 2001. Perlawanan itu mengakibatkan Misuari tertangkap di Sabah Malaysia saat ia berusaha melarikan diri ke Malaysia [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Mungkin hanya dengan penyelesaian masalah otonomi yang adil dapat diharapkan keterbukaan dan partisipasi masyarakat Moro dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang paripurna [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Yang tidak dapat dilupakan dari masyarakat muslim Moro adalah bahwa mereka terus menunjukkan dinamika beragama dan bermasyarakat kendati dalam situasi yang tidak menentu. Mereka terus meningkatkan usaha pendidikan . Hubungan dengan dunia Islam dan gerakan dakwah internasional maupun regional terus dikembangkan. Umpamanya sejak tahun 1980-an pengaruh gerakan Jamaah Tablig di kalangan masyarakat Moro, terutama yang tinggal di perkotaan, semakin meningkat. Begitu juga dengan peningkatan berbagai segi kehidupan sosial. [Azyumardi Azra, 315-317]

-----------------6Juli2009-----------------

A. Pendahuluan, Aspek historisitas Muslim di Philipina

Filipina adalah negeri kepulauan yang terdiri dari 7.109 pulau tropis dengan total luas wilayah 29.629.000 hektar dan terdiri dari berbagai ragam etnis, bahasa dan agama. Meskipun lebih dikenal sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya menganut Katholik, wilayah Filipina sekarang ini meliputi juga beberapa kawasan yang berpenduduk muslim. Menurut catatan sensus resmi Filipina tahun 2001, jumlah penduduk muslim di negara yang beribukota Manila ini adalah 5 % dari seluruh penduduk Filipina, yakni sekitar 4 juta jiwa dari jumlah total populasi 82.841.518. juta penduduk. Sementara itu berbagai sumber lainnya menyebutkan, pada tahun (2003) setidaknya terdapat kurang lebih 7 juta penduduk muslim, artinya mencapai 10 % dari total penduduk Filipina.

Jumlah tersebut di atas cukup menjadikan komunitas muslim sebagai kelompok minoritas, baik dari segi budaya maupun politik, di tengah-tengah bangsa Filipina yang mayoritas beragama Katholik. Setidaknya terdapat 12 kelompok etno-linguistik dalam masyarakat Islam Filipina, yaitu: Manguindanao, Maranao, Iranun, Tausug, Samal, Yakan, Jama Mapun, Palawani, Molbog, Kalagan, Kolibugan dan Sangil. Mayoritas dari mereka bertempat tinggal di kawasan Filipina Selatan, khususnya Pulau Mindanao dan Kepulauan Sulu. [Azyumardi Azra, 2005:44]

Meskipun menyandang status minoritas, dalam konteks Filipina, masyarakat Islam adalah komunitas terbesar kedua setelah masyarakat Katholik. Posisi seperti itu membuat komunitas muslim sangat penting bagi perkembangan sosial dan politik Filipina.

Masyarakat Islam di Filipina juga seringkali disebut bangsa Moro. Menurut catatan sejarahnya, istilah Moro merujuk kepada kata Moor, Moriscor atau Muslim. Kata Moor berasal dari istilah Latin Mauri, sebuah istilah yang seringkali digunakan orang-orang Romawi Kuno untuk menyebut penduduk wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika Bangsa Spanyol tiba di wilayah Filipina dan menemukan sebuah bangsa yang memiliki agama dan adat istiadat seperti orang-orang Moor di Spanyol Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang Islam Filipina dengan istilah Moro.

Dalam catatan sejarah Islam masuk ke Filipina tidak lama setelah Islam berkembang di dunia Melayu. Islam sudah berkembang di beberapa kepulauan, khususnya Sulu di Filipina Selatan, setidaknya pada perempat terakhir abad ke 13. Ini berarti, bagi kawasan Filipina, kedatangan Islam jauh lebih awal daripada kedatangan kolonial Barat, khususnya bangsa Spanyol. Islam menyebar ke Filipina melalui Sulu pada abad ke 14 oleh para dai yang datang dari kepulauan Indonesia. Sebenarnya pada abad ke 13 sudah banyak pedagang muslim yang menetap di Sulu karena letak geografisnya strategis. Filipina menjadi salah satu jalur perdagangan internasional (yang membentang dari Laut Merah hingga Laut Cina) dan dikuasai oleh para pedagang muslim. Penyebaran Islam pun berkembang pesat hingga awal abad ke 16 di Filipina. Pada masa ini penyebaran Islam telah mencapai Kepulauan Mindanao, Kepulauan Visayas, bahkan sampai ke Pulau Luzon.

Sumber-sumber perihal kedatangan Islam di Sulu umumnya berasal dari tradisi setempat, yaitu jaringan genealogis yang disebut Tarsila. Sebagaimana halnya sumber-sumber silsilah lainnya, tarsila berbau mitologis, namun cukup kronologis dan runtut menjelaskan asal mula dan perkembangan awal komunitas Islam. Berdasarkan sumber-sumber tersebut, banyak penulis menilai Sulu sebagai miniatur proses Islamisasi Asia Tenggara. [Niels Murder, 2005:240-245]

Pada tahun 1565 proses penyebaran Islam mulai menghadapi hambatan dengan masuknya bangsa Spanyol ke Filipina yang bertujuan memperoleh koloni baru dan sekaligus menyebarkan agama Kristen Katholik. Orang Spanyol inilah yang menyebut penduduk muslim Filipina dengan nama ”Moro”, sebagaimana mereka menyebut orang dari Afrika Utara (yang pernah berkuasa di Spanyol dari abad ke-8 hingga abad ke-15) yang juga menganut agama Islam. Istilah itupun masih dipakai hingga kini.

Dari penjajahan Spanyol inilah timbul konflik keagamaan dan politik antara kelompok muslim dan Kristen Filipina yang terus berlangsung hingga saat ini. Dalam upaya menguasai wilayah Filipina Selatan yang berpenduduk mayoritas muslim, bangsa Spanyol melancarkan gerakan Kristenisasi dan memukimkan penduduk Kristen ke wilayah itu. Akibatnya, komunitas maupun wilayah penduduk Moro pun terus menyusut hingga terbatas pada Kepulauan Sulu dan Pulau Mindanao bagian Barat. Konflik dan proses penyusutan itu terus berlanjut pada masa Amerika Serikat (AS) menjajah Filipina (1898-1935)

Pada tahun 1935, ketika pemerintahan Persemakmuran Filipina terbentuk sebagai hasil kesepakatan perjanjian antara AS dan pejuang nasionalis Filipina, Manuel Quezon (Presiden terpilih 1935-1944) menyatakan kepada masyarakat Moro bahwa mereka, yakni para sultan dan datuk, tidak lagi memiliki tempat dalam pemerintahan baru ini dan hukum nasional akan diberlakukan kepada setiap warganegara tanpa melihat agamanya. Pernyataan Quezon itu menimbulkan reaksi keras dari masyarakat Moro yang selalu menganggap diri mereka sebagai bangsa yang berdiri sendiri, terlepas dari Filipina. Kemudian sekitar seratus lebih datuk dari suku bangsa Maranao mengirim surat kepada Presiden AS Fransklin D Rosevelt. Mereka menyatakan ingin dipisahkan dari pemerintahan persemakmuran tersebut dan lebih memilih berada di bawah perlindungan AS sampai mereka mampu membentuk pemerintahan sendiri.

Namun hingga Filipina memperoleh kemerdekaan dari AS pada 4 Juli 1946, tuntutan bangsa Moro untuk berdiri sendiri sebagai sebuah negara tidak terwujud. Bahkan sikap pemerintah Filipina yang mendiskriminasikan bangsa Moro semakin nyata. Antara tahun 1950an dan 1960-an pemerintah Filipina menerapkan program pengembangan dan integrasi nasional. Program itu mengakibatkan membanjirnya kaum Kristen ke wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim. Program tersebut dinilai oleh penduduk muslim sebagai upaya pemerintah untuk menghancurkan komunitas muslim Filipina. Selain itu mereka merasa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak pernah mencapai daerahnya. [Azyumardi Azra, 2005:46]

Pada masa awal kemerdekaannya, Filipina tidak stabil, justeru diwarnai dengan berbagai pertikaian dan pemberontakan terhadap pemerintah, seperti dilakukan kelompok Komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Dengan adanya pemberontakan ini, tekanan pemerintah terhadap perjuangan kaum Moro cenderung berkurang. Namun, sikap represif pemerintah pusat terhadap Bangsa Moro semakin kuat ketika Ferdinant Marcos berkuasa pada tahun 1965.

Pemberian kemerdekaan kepada Filipina pada tahun 1946 tidak banyak bersangkut paut dengan perang dan pengaruhnya, kemerdekaan diberikan sesuai dengan jadual pada waktu AS disambut sebagai pembebas. Pemberian kemerdekaan itu, alih-alih merupakan puncak perjuangan merebut kebebasan, terjadi dalam masa ketergantungan mendalam pada AS, dari segi budaya, segi ekonomi, bahkan segi politik. Kemerdekaan yang dicapai pada tahun 1946 dan bersamaan itu semangat nasionalisme seolah-olah perlu diciptakan kembali. [Niels Murder, 2005:246-251]

Ketika Filipina akhirnya mencapai kemerdekaannya, semangat kebangsaan disirami secara efektif oleh gelombang kedua dominasi budaya yang rasialis. Amerika membawakan kemoderenan, kemajuan, demokrasi, pendidikan dalam bahasa Inggris, dan agama Protestan kepada semua kantong penduduk, terkecuali yang muslim, yang sebelumnya tetap tidak terjangkau oleh Spanyol. Sekali lagi, bangsa Filipina kewalahan. Mereka adalah betul-betul rakyat yang ditaklukkan, kehilangan peradaban mereka sendiri dengan menerima peradaban asing. Seperti itulah akar kegusaran orang Filipina, tidak hanya terhadap dunia kulit putih, tetapi pertama-tama terhadap diri mereka sendiri dan keadaan hidup mereka. Mereka mengembangkan hubungan cinta dan benci dengan diri mereka sendiri, dan dengan para penjajah. [Niels Murder, 2005:271]

Dengan semakin gencarnya perluasan militer, politik dan ekonomi, secara berturut-turut oleh penguasa Spanyol, Amerika dan Republik Filipina, pada 1948 jumlah masyarakat Moro di Filipina Selatan telah menjadi kurang dari separoh (38 %). Faktor utama penurunan jumlah ini adalah karena migrasi terencana dan besar-besaran ke tanah Moro dari bagian utara Filipina. Akibatnya bukan hanya masyarakat Moro menjadi semakin terjepit, mereka juga semakin terisolasi. Mereka tidak siap menghadapi persaingan di hampir semua bidang, apalagi lahan perekonomian tradisional merekapun terpaksa ikut diperebutkan. [Azyumardi Azra, 314-315]

Upaya pemerintah Amerika Serikat yang kemudian dilanjutkan pemerintah Republik Filipina untuk mengintegrasikan masyarakat Moro melalui akomodasi elit muslim, ternyata tidak berhasil. Kecenderungan untuk menganakemaskan kelompok kecil ini tidak membuka saluran bagi masyarakat muslim secara keseluruhan. Akibatnya elit tersebut justeru kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Moro, walaupun mereka menjadi agen pemerintah pusat. Karena itu pada pertengahan tahun 1960-an, muncullah berbagai upaya untuk mengadakan perubahan. Di situ muncul tokoh muda yang menolak status quo dan bahkan gagasan-gagasan pemisahan diri dari negara Filipina mulai dibangkitkan. Diantara mereka adalah Datu Utdog Matalam dan Nur Misuari, yang kemudian mendirikan MNLF (Moro National Liberal Front) atau Front Pembebasan Nasional Moro pada tahun 1969 [Dinamika Asia Tenggara, 315]. dengan tujuan menuntut kemerdekaan wilayah Mindanao dari pemerintah Filipina. Perjuangan MNLF ini mendapat dukungan dana dan persenjataan dari negara Islam lainnya, seperti Libya dan Malaysia.

Perjuangan masyarakat Moro pada tahun 1970-an telah dimulai dengan gerakan bersenjata. Puncak perjuangan ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Tripoli antara Manila dan para pemimpin MNLF pada tahun 1976. Berdasarkan perjanjian tersebut, masyarakat Moro akan mendapatkan otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan, yakni Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, North Cotabato, Manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South Cotabato dan Palawan. Presiden Ferdinant Marcos kemudian membuat penafsiran sendiri terhadap perjanjian dan menyatakan ”hak otonomi” atas dua wilayah, yaitu Sulu dan Mindanao Barat serta Mindanao Tengah. Walaupun ditolak oleh para pendukung MNLF dengan menghidupkan kembali perlawanan bersenjata, Marcos terus membuat manuver untuk mendekati kelompok muslim yang dapat diajak bekerjasama. Perpecahan-pun terjadi di kalangan pimpinan MNLF. Puncak kebijakan ini adalah pembentukan KUI (Kementerian Urusan Islam) pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah formal ini diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka [Dinamika Asia Tenggara, 315].

Tekanan pemerintahan Marcos menyebabkan munculnya berbagai gerakan perjuangan bangsa Moro, seperti Muslim Independent Movement (MIM) pada tahun 1971. Karena perbedaan visi dan orientasi perjuangan, MNL (Moro National Liberation) yang tadinya diharapkan menjadi induk gerakan pembebasan bangsa Moro-akhirnya pecah. Dari sini muncul dua kelompok, yakni kelompok nasionalis-sekuler pimpinan Nur Misuari yang mendirikan Moro National Liberation Front (MNLF) dan kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang dipimpin oleh Hashim Salamat. Dalam perjalanannya, MNLF pun akhirnya terpecah lagi dengan munculnya kelompok MNLF Reformis di bawah pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf di bawah pimpinan Abdulrazaq Janjalani (1993).

Perjuangan MNLF mulai menonjol setelah presiden Ferdinant Marcos memberlakukan Hukum keadaan Darurat pada 2 September 1972 yang diikuti oleh upaya militer, yakni pelucutan senjata kaum Moro. Akibatnya, konflikpun semakin meningkat antara pihak Moro dan pemerintah antara tahun 1973-1976. Pada tahun 1974 komite pusat MNLF mengeluarkan manifesto yang menuntut berdirinya Republik Bangsa Moro independen, yang wilayahnya terdiri atas Pulau Mindanao, Pulau Basilan, Pulau Sulu dan Pulau Palawan. Namun tuntutan tersebut kemudian diturunkan hingga hanya menjadi otonomi politik dan luas wilayah yang diminta pun diperkecil menjadi 13 propinsi dan 11 kota. Perubahan tuntutan itu terjadi setelah diadakan perundingan antara MNLF dan pemerintah Filipina di Jeddah Arab Saudi pada tahun 1975. [Niels Murder, 2005:251-254]

Pada tanggal 23 Desember 1976 perundingan antara kedua pihak diadakan kembali. Perjanjian yang dikenal dengan nama Tripoli Agrement (Perjanjian Tripipoli) ini berisi kesepakatan untuk memberikan kepada kaum Moro otonomi 13 propinsi Mindanao, yaitu Propinsi Lanao del Norte, Lanao del Sur, North Cotabato, South Cotabato, Zamboanga del Norte, Zamboanga del Sur, Manguindanao, Sultan Kudarat, Davao del Sur, Sulu, Tawi-Tawi, Basilan dan Palawan. Akan tetapi pelaksanaan perjanjian tersebut hingga masa pemerintahan Presiden Fidel V Ramos (sejak 1992) belum terwujud sepenuhnya. Aksi pemberontakan MNLF pun masih berlanjut, demikian juga upaya diplomatik dari negara muslim yang mendesak pemerintah Filipina memenuhi tuntutan MNLF.

Pada tahun 1977 MNLF mengalami perpecahan. Faktor penyebab perpecahan itu antara lain adalah adanya fanatisme kesukuan antar kaum Moro sendiri dan ambisi pribadi untuk saling merebut pengaruh di kalangan pemimpinnya. Perpecahan itu menimbulkan organisasi baru, yaitu: MILF, MNLF-RG dan BMLO.

Dari perjuangan yang telah dicapai MNLF, ada sejumlah tuntutan yang sudah dipenuhi pada masa pemerintahan Presden Ferdinant Marcos (1965-1986) dan Presiden Corazon Aquino (1986-1992) antara lain diakuinya budaya Islam dan dan Bangsa Moro, dibentuknya peradilan berdasarkan syariat, dan diberikannya otonomi wilayah, kendatipun masih secara terbatas. Sejumlah pemimpin tertinggi MNLF memperoleh kedudukan politik dalam pemerintahan dan peluang ekonomi yang lebih besar. Pada masa pemerintahan Fidel V Ramos beberapa tuntutan juga disepakati setelah melalui serangkaian perundingan.

Upaya-upaya menuju perdamaian mulai kembali dilakukan secara intensif ketika Presiden Filipina berada di bawah kendali Presiden Cory Aquino. Kebijakan ini kemudian diteruskan oleh Presiden Fidel Ramos. Banyak pengamat mengatakan bahwa sikap ini didorong berbagai pertimbangan pemerintah yang agak hati-hati, khususnya menyangkut nasib 650.000 pekerja yang berasal dari Filipina di kawasan Arab yang setiap tahun mendatangkan devisa jutaan dollar. Cory Aquino mengambil langkah sepihak pada 1989, yakni mengadakan referendum untuk membentuk Wilayah Otonomi Muslim Minadanao (ARMM) yang ditolak MNLF)

Pada April 1993 perundingan antara MNLF dan pemerintah Filipina dilangsungkan di Jakarta dengan pemerintah Indonesia sebagai moderator. Perundingan yang disaksikan oleh pejabat OKI (Organisasi Konperensi Islam) itu menyepakati penyelesaian masalah kedua pihak melalui perundingan dan akan mengimplementasikan Perundingan Tripoli yang pernah mereka lakukan pada 1976.

Perundingan selanjutnya dilakukan di kota Zamboanga Filipina Selatan pada April 1994. Perundingan ini hampir gagal karena kedua belah pihak yang bertikai dan tidak sepakat mengenai jumlah pengawal yang akan menjaga Nur Misuari, pemimpin MNLF kala itu. Akhirnya perundingan berhasil dilangsungkan dan menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain 60% pendapatan dari pajak daerah akan masuk ke kas daerah otonomi dan sisanya ke kas pusat.

Serangkaian perundingan kemudian diadakan di Jakarta sejak Oktober 1993. Indonesia memainkan peran penting dalam perundingan itu sebagai fasilitator. Pada November 1995 diadakan perundingan selanjutnya di Jakarta. Dalam perundingan ini pihak MNLF diwakili Nur Misuari, sementara Pemerintah Filipina diwakili Manuel T Yan (Duta Besar Filipina untuk Indonesia). Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pada waktu itu Ali Alatas mewakili pemerintah Indonesia sebagai fasilitator. Perundingan ini berakhir dengan penandatangan kesepakatan yang dicapai meliputi pembangunan dalam berbagai bidang, seperti: pendidikan, ekonomi dan sistem keuangan, pertambangan dan mineral, sistem administrasi, perwakilan dalam pemerintah nasional, dewan ekskutif dan majlis legislatif, serta peradilan dan penerapan hukum syari’ah (hukum Islam). Kedua pihak juga sepakat mengenai bentuk dan struktur pemerintahan otonomi serta rencana penggabungan pasukan MNLF ke dalam Tentara Republik Filipina. Namun mereka belum sepakat tentang implementasi dan mekanisme kesepakatan ini.

Setelah bertahun-tahun terjadi konflik, Presiden Fidel Ramos dan Misuari menyetujui kesepakatan damai pada 1996. Pada tahun yang sama, Misuari juga terpilih menjadi Gubernur daerah otonom. Namun konflik antara MNLF dan pemerintah Filipina tetap saja berkepanjangan hingga abad ke-21. Selama tiga dekade terakhir abad ke 20, konflik antara kelompok gerilyawan Moro dan pemerintah telah memakan korban tewas sekitar 100.000 orang. [Azyumardi Azra dalam Abdul Aziz Dahlan, 2005:45-47]

Pemerintah Filipina menilai bahwa selama lima tahun pemerintahan Nur Misuari di Daerah Otonomi Islam Mindanao tersebut, tidak berkembang. Bahkan Misuari dituduh telah menyalahgunakan kekuasaannya dengan memanipulasi dana pembangunan. Sebaliknya, Misuari menuduh pemerintah Filipina tidak merealisasikan dana pembangunan untuk rakyat Mindanao, sehingga menyebabkan dua juta rakyat muslim kawasan itu menjadi warga paling miskin di Filipina. Karena itulah ia menawar masa jabatannya sebagai gubernur agar diperpanjang sampai 2003. Akan tetapi usulan ini ditolak oleh pemerintah Filipina [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Dari pihak bangsa Moro-pun Misuari telah kehilangan dukungan dan kepercayaan. Ia hanya didukung oleh tidak lebih dari 300 pejuang Moro. Pada bulan Mei 2001 ia tidak lagi menjabat sebagai ketua MNLF, melainkan sekedar ketua Kehormatan yang tidak memiliki wewenang apapun [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Nur Misuari bukannya tidak berusaha merebut kembali simpati bangsa Moro. Pada Juni 2001 ia menyodorkan sebuah proposal berdirnya negara merdeka untuk bangsa Moro. Akan tetapi kredibilitas Misuari pada kenyataannya sudah jatuh di mata kelompok-kelompok Moro. Maka proposal itupun tidak mendapat tanggapan dari bangsa Moro.

Akar dari semua masalah hak otonomi bagi bangsa Moro dan proses pemilihan gubernur baru pengganti Misuari inilah mengakibatkan terjadinya perlawanan Misuari dan pengikutnya selama lima hari di Jolo Filipina Selatan, di akhir November 2001. Perlawanan itu mengakibatkan Misuari tertangkap di Sabah Malaysia saat ia berusaha melarikan diri ke Malaysia [Dinamika Asia Tenggara, 315].

B. Pembahasan: Upaya Melihat Faktor yang Berpengaruh terhadap gerakan Islam di Mindanao

Menurut pengamatan penulis Nagasura Madale, seorang pengamat masalah nasionalisme dan perkembangan Islam di Filipina, setidaknya terdapat lima faktor yang mempengaruhi kebangkitan kembali Islam di Filipina:

Pertama, banyaknya warga muslim yang terpengaruh kesadaran kebangkitan dunia Islam, terutama setelah mereka melihat fenomena itu ketika mereka menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Kedua, semakin menjamurnya berbagai kelompok dan organisasi Islam yang mendapatkan dukungan, baik dari komunitas Islam lokal maupun luar negeri.

Ketiga, berdirinya madrasah, sekolah dan perguruan tinggi, baik secara khusus maupun tidak, yang memberikan pendidikan keagamaan dan menawarkan program-program studi keislaman.

Keempat, pengaruh peristiwa pemberontakan Moro, yang melahirkan dan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan kelompok Islam di Filipina. Sebagai tambahan, berbagai kebijakan pemerintah Filipina yang mendiskriminasikan kaum muslim semakin menguatkan kesadaran akan pentingnya kebangkitan kembali Islam.

Kelima, sikap politik pemerintah Filipina dalam menghadapi tuntutan bangsa Moro sangat jelas. Mereka tidak mungkin akan membiarkan orang-orang Islam memisahkan dan memerdekakan diri. Meskipun akhirnya dalam perkembangan terakhir politik nasional Filipina, orang-orang Moro diberi otonomi, hal itu tidak menghilangkan potensi konflik yang bisa muncul kembali. Apalagi, seperti pernah diprediksikan Cesar Adib Majul, otonomi yang diberikan pemerintah Filipina tidak selalu sepenuhnya berarti dan dapat diterima masyarakat Islam. Pada akhir dekade 1990-an, perlawanan beberapa kelompok dari bangsa Moro kembali muncul, seperti yang dilakukan kelompok gerilyawan Abu Sayyaf, menyusul ketidakpuasan mereka terhadap perjuangan bangsa Moro selama ini dan berbagai keputusan dan kebijakan pemerintah pusat Filipina terhadap kelompok muslim.

Sedangkan faktor-faktor terjadinya gerakan Islam di Mindanao, secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

1. Faktor Intern

Warga Filipina tidak dikaruniai kesadaran yang kuat sebagai bangsa (nasionalisme), dan secara terbuka mengeluhkan kurangnya kesatuan dan solidaritas . Negara tidak dilihat sebagai ayah dan tidak mendapat banyak kepercayaan atau kesetiaan . Akan tetapi, hal ini harus berubah. Negara sedang berkembang menjadi bangsa. Di bawah konstitusi dan dengan praktek demokrasi, negara, pemerintahan dan hukum, penghormatan kepada martabat manusia, kebebasan dan persamaan akan terwujud menjadi kenyataan. [Niels Murder, 2005:246-265]

Karena lahir dari kolonialisme, Filipina adalah Negara pertama di Asia yang memberontak melawan dominasi asing, dan yang berjuang untuk merebut kemerdekaannya dengan berhasil. Di Filipina, nasionalisme tidak pernah digabungkan dengan gagasan rekonstruksi sosial, sekurang-kurangnya itu tidak dilakukan oleh mereka yang menduduki tempat pusat dalam panggung politik. Sehingga sangat diperlukan gagasan nasionalisme yang mempersatukan. [Niels Murder, 2005:246-247]

Sekalipun terdiri dari berbagai kelompok etnis yang berbeda, masyarakat muslim Filipina memiliki banyak persamaaan dalam bahasa yang digunakan. Misalnya, terdapat banyak kesamaan antara bahasa Manguindanao dan Maranao, sehingga kedua pengguna bahasa ini bisa saling memahami. Juga banyak kedekatan secara linguistik diantara bahasa dan dialek yang digunakan sebagian orang Islam dan Kristen, seperti bahasa Tausug yang mirip dengan bahasa Tagalog dan Visayan - dua bahasa yang digunakan secara luas oleh kelompok Kristen. Menurut ahli bahasa Modern, semua bahasa dan dialek tersebut berasal dari rumpun bahasa yang sama. [Taufik Abdullah, 2002:484]

Kalangan muslim modernis Filipina beranggapan bahwa sistem yang berlaku sekarang di Filipina tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kalangan ini berpendapat, masuknya hukum Islam bagi kalangan muslim Filipina ke dalam sistem hukum Filipina dan kerjasama dengan kelompok penganut agama lain, khususnya Kristen Katholik, telah memperdalam keimanan mereka. Kenyataan ini juga telah mempertegas kesadaran keumatan mereka. Kecenderungan seperti ini bukan merupakan implementasi konsep umat sebagai masyarakat politik yang berangkat dari kesadaran perbedaan wilayah geografis, tetapi merupakan sebuah kenyataan sosial, yang menurut istilah George D. Decasa, seorang rohaniawan Katholik Filipina yang mengkaji masalah Islam, merupakan ”realitas sosial”. [Taufik Abdullah, 2002:480]

2. Faktor Ekstern

Di Filipina pengaruh asing dilihat sebagai pengaruh yang merusak seluruh tatanan sosial yang sehat. Masalah ini sudah lama sekali merundung Filipina, tetapi menjadi bertambah genting selama masa penjajahan AS. Warisan penjajahan ini harus dipersalahkan atas kepopuleran barang asing, yang kerap kali disebut sebagai ”mentalitas kolonial kita” dan atas adanya kompleks rendah diri berhadapan dengan orang kulit putih, yang dengan demikian menimbulkan kebudayaan meniru-niru seperti budak. Kekaguman akan kebudayaan asing yang kurang sehat merasuki seluruh sistem pendidikan dan media dalam bahasa Inggris, dan membuat penguasaan bahasa Inggris menjadi tanda utama harga diri. Akibatnya ada banyak orang yang mengira bahwa pendidikan sekolah di Filipina tidak berhubungan dengan dan terputus dari kebudayaan nyata rakyat Filipina. [Niels Murder, 2005:280]

Sebagai komunitas kedua setelah Katholik, maka komunitas muslim di Philipina sampai dengan kini mendapatkan perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan komunitas Katholik. Hal tersebut nampak misalnya dalam kurun waktu 1950-an sampai dengan 1960-an pemerintah Filipina menerapkan program pengembangan dan integrasi nasional. Program ini mengakibatkan membanjirnya kaum Kristen ke wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim. Program tersebut dinilai oleh penduduk muslim sebagai upaya pemerintah untuk menghancurkan komunitas muslim Filipina. Selain itu mereka merasa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak pernah mencapai daerahnya.

Sikap dan tindakan pemerintah Filipina tersebut mendorong kaum Moro untuk membentuk gerakan yang terorganisasi. Salah satu diantaranya adalah gerakan yang dibentuk oleh sekelompok intelektual muda muslim pada tahun 1969 yang disebut MNLF. Ini mendapat dukungan dana dan persenjataan dari Negara Islam lainnya, seperti Libya dan Malaysia. [Azyumardi Azra, 2005:46]

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Filipina tersebut nampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan terhadap bangsa Filipina sebelum merdeka oleh para penjajah, baik Spanyol maupun Amerika Serikat (1898 - 1935). Para penjajah melakukan politik adu domba (devide et impera) antara komunitas muslim dengan komunitas Katholik. [Azyumardi Azra, 2005:46]

Sikap politik pemerintah Filipina dalam menghadapi tuntutan bangsa Moro sangat jelas. Mereka tidak mungkin akan membiarkan orang-orang Islam memisahkan dan memerdekakan diri. Meskipun akhirnya dalam perkembangan terakhir politik nasional Filipina, orang-orang Moro diberi otonomi, hal itu tidak menghilangkan potensi konflik yang bisa muncul kembali. Apalagi, seperti pernah diprediksikan Cesar Adib Majul, otonomi yang diberikan pemerintah Filipina tidak selalu sepenuhnya berarti dan dapat diterima masyarakat Islam. Pada akhir dekade 1990an, perlawanan beberapa kelompok dari bangsa Moro kembali muncul, seperti yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf, menyusul ketidakpuasan mereka terhadap perjuangan bangsa Moro selama ini dan berbagai keputusan dan kebijakan pemerintah pusat Filipina terhadap kelompok muslim.

C. Penutup

Yang tidak dapat dilupakan dari masyarakat muslim Moro di Filipina adalah bahwa mereka terus menunjukkan dinamika beragama dan bermasyarakat kendati dalam situasi yang tidak menentu. Mereka terus meningkatkan usaha pendidikan . Hubungan dengan dunia Islam dan gerakan dakwah internasional maupun regional terus dikembangkan. Umpamanya sejak tahun 1980-an pengaruh gerakan Jamah Tablig di kalangan masyarakat Moro, terutama yang tinggal di perkotaan, semakin meningkat. Begitu juga dengan peningkatan berbagai segi kehidupan sosial. [Azyumardi Azra, 315-317]

Secara umum kebangkitan Islam di Filipina berkembang dalam dua paradigma. Pertama paradigma radikal yang dikembangkan oleh para aktifis MNLF, yang semula merupakan kelompok minoritas di kalangan Islam, MNLF pernah melahirkan manifesto yang menyerukan kemerdekaan bagi bangsa Moro. Kedua, pandangan moderat yang didukung oleh banyak kelompok Islam, yang menginginkan adanya berbagai perubahan sosial dalam konteks lebih luas. Pandangan terakhir ini, misalnya dikemukakan oleh aktifis muslim moderat, Allan Mangorsi. Ia menginginkan dihapuskannya berbagai prasangka dan perasaan-perasaan ”kecurigaan yang tidak beralasan” yang seringkali menjadi alasan penindasan kelompok lain terhadap warga muslim Filipina. Ia mengusulkan adanya upaya menciptakan pemerintahan regional otonom di wilayah muslim dan menegakkan keterwakilan kalangan Islam dan kelompok minoritas lainnya dalam politik nasional Filipina.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun tampaknya kedua pendekatan ini mengandung perbedaan visi dan pendekatan, terdapat kesepakatan di kalangan Islam, bahwa kaum muslim Filipina menginginkan terbentuknya kedaulatan umat Islam, sehingga mereka bisa hidup bebas berdampingan secara damai dengan kolega-kolega Filipina lainnya yang beragama Nasrani.

Mungkin hanya dengan penyelesaian masalah otonomi yang adil dapat diharapkan keterbukaan dan partisipasi masyarakat Moro dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang paripurna [Dinamika Asia Tenggara, 315].

-------------------------------------

TUGAS REVIEW ISLAM DI ASIA TENGGARA

GERAKAN ISLAM DI MINDANAO

SUATU UPAYA MELIHAT FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata kuliah Islam di Asia Tenggara

Guru Besar Pengampu

PROF. DR. MOCHTAR MAS’OED, MA.

Asisten Guru Besar

DRS. SURWANDONO, MA

Disusun oleh:

Malik Ibrahim

Mahasiswa Program Doktor Politik Islam

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PROGRAM DOKTOR

JUNI - 2009

TAMBAHAN

Pada tahun 1948 jumlah masyarakat Moro di Filipina Selatan telah menjadi kurang dari separuh (38%). Dan pada tahun 1970 telah menjadi 21 %. Faktor utama penurunan jumlah ini adalah karena migrasi terencana dan besar-besaran ke Tanah Moro dari bagian utara Filipina. Akibatnya bukan hanya masyarakat Moro menjadi semakin terjepit, mereka juga semakin terisolasi. Mereka tidak siap terjadi persaingan di hampir semua bidang, apalagi lahan perekonomian tradisional mereka-pun terpaksa ikut diperebutkan [Dinamika Asia Tenggara, 315].

Upaya pemerintah Amerika Serikat yang kemudian dilanjutkan pemerintah Republik Filipina untuk mengintegrasikan masyarakat Moro melalui akomodasi elit muslim, ternyata tidak berhasil. Kecenderungan untuk menganakemaskan kelompok kecil ini tidak membuka saluran bagi masyarakat muslim secara keseluruhan. Akibatnya elit tersebut justeru kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Moro, walaupun mereka menjadi agen pemerintah pusat. Karena itu pada pertengahan tahun 1960-an, muncullah berbagai upaya untuk mengadakan perubahan. Di situ muncul tokoh muda yang menolak status quo dan bahkan gagasan-gagasan pemisahan diri dari negara Filipina mulai dibangkitkan. Diantara mereka adalah Datu Utdog Matalam dan Nur Misuari, yang kemudian mendirikan MNLF (Moro National Liberal Front) atau Front Pembebasan Nasional Moro pada tahun 1969 [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Perjuangan masyarakat Moro pada tahun 1970-an telah dimulai dengan gerakan bersenjata. Puncak perjuangan ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Tripoli antara Manila dan para pemimpin MNLF pada tahun 1976. Berdasarkan perjanjian tersebut, masyarakat Moro akan mendapatkan otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan, yakni Basilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, North Cotabato, manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South Cotabato dan Palawan. Presiden Ferdinant Marcos kemudian membuat penafsiran sendiri terhadap perjanjian dan menyatakan ”hak otonomi” atas dua wilayah, yaitu Sulu dan Mindanao Barat serta Mindanao Tengah. Walaupun ditolak oleh para pendukung MNLF dengan menghidupkan kembali perlawanan bersenjata, Marcos terus membuat manuver untuk mendekati kelompok muslim yang dapat diajak bekerja sama. Perpecahan pun terjadi di kalangan pimpinan MNLF. Puncak kebijakan ini adalah pembentukan KUI (Kementerian Urusan Islam) pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah formal ini diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Dalam menjalankan tugasnya KUI menekankan integrasi dengan membuka kesempatan kepada masyarakat Moro untuk berperan aktif dalam pembangunan dan kehidupan bernegara sejajar dengan masyarakat Filipina lainnya. Penekanan dari peran KUI ditujukan pada pembinaan lembaga sosial budaya dan pembangunan ekonomi. Prioritas diberikan kepada pembinaan pelayanan hukum Islam kepada masyarakat Moro. Untuk itu dibentuklah badan peradilan syariat yang sejajar dengan peradilan umum. Bagi keperluan ini pengembangan sumber pelaksana hukum syariat (kadi) juga dilancarkan. Hasilnya cukup memuaskan. Bukan hanya calon kadi menjadi berkualitas dan banyak jumlahnya, namun juga sambutan masyarakat muslim cukup besar [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Secara umum KUI menekankan pembaruan. Melalui kerjasama dan koordinasi dengan kementerian lain, instansi dan berbagai lembaga swasta lainnya, KUI berusaha membuat kerjasama sebanyak dan sebaik mungkin. Jalur utama yang ditempuh bertumpu pada perbaikan standar kehidupan. Ini mencakup peningkatan mutu lembaga pendidikan (madrasah), mobilisasi dan penyaluran dana kepada masyarakat muslim, penyediaan latihan ketrampilan, peningkatan taraf ekonomi masyarakat pedesaan, peningkatan partisipasi kaum wanita, perlindungan hak tanah, penyediaan beasiswa kepada pemuda muslim, dan pengelolaan pemukiman serta jasa kesehatan. Di samping itu dilakukan usaha untuk meningkatkan fasilitas budaya dan keagamaan bagi masyarakat muslim. Usaha ke arah ini terlihat dengan penunjukan amirul hajj, yaitu pemimpin rombongan haji nasional, pada musim haji tahun 1982, pengadaan perlombaan membaca al-Qur’an (semacam MTQ) secara meluas dan rutin, pembinaan masjid, dan koordinasi kegiatan para ulama [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Pergantian pemimpin nasional Filipina pada tahun 1986 juga membawa angin segar bagi masyarakat Moro. Tidak lama setelah resmi berkuasa, Presiden Corazon Aquino mengadakan pertemuan dengan MNLF, termasuk Nur Misuari di Jolo. Walaupun Aquino gagal menciptakan perjanjian dengan MNLF, Aquino telah memasukkan rencana otonomi untuk masyarakat Moro ke dalam Konstitusi baru Filipina. Bahkan setelah memelalui Plebisit pada akhir 1986 telah dibentuk empat propinsi muslim yang berstatus otonom, yaitu Lanao Selatan, Manguindanao, Sulu dan Tawi-Tawi [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Pengganti Aquino, Jenderal Fidel Ramos kelihatan lebih yakin untuk mencapai penyelesaian akhir bagi masalah Moro. Pada tahun 1992, Ramos mengusulkan pembentukan wilayah otonom di selatan yang terdiri dari tigabelas propinsi seperti yang disetujui dalam Perjanjian Tripoli tahun 1976. Untuk tujuan ini dibentuk SPCPD (Southern Phillipines Council for Peace and Development atau Dewan Perdamaian dan Pembangunan Filipina). Bahkan Nur Misuari telah diangkat menjadi ketua badan ini. Penandatanganan Perjanjian Perdamaian telah dilakukan pada tanggal 2 September 1996. Perjanjian tersebut dicapai setelah serangkaian perundingan di Jakarta yang dimulai pada bulan Oktober tahun 1993. Dan Indonesia memainkan peran penting dalam perundingan tersebut sebagai fasilitator. Walaupun tidak semua unsur gerakan Moro mengikuti langkah Nur Misuari, namun nampak bahwa usaha perdamaian tersebut mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat Moro [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Selanjutnya ketigabelas propinsi di Filipina selatan dibentuk menjadi ZOPAD, Zone of Peace and Development atau Zone Perdamaian dan Pembangunan, dengan empat propinsi yang mayoritas muslim tetap menikmati otonomi (Lanao Selatan, Manguindanao, Sulu dan Tawi-Tawi) . Keempat propinsi tersebut disatukan dengan nama Daerah Otonomi Islam Mindanao dan Nur Misuari diangkat sebagai gubernur pertama wilayah otonomi muslim tersebut di samping sebagai ketua SPCPD [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Pemerintah Filipina menilai bahwa selama lima tahun pemerintahan Nur Misuari di Daerah Otonomi Islam Mindanao tersebut, tidak berkembang. Bahkan Misuari dituduh telah menyalahgunakan kekuasaannya dengan memanipulasi dana pembangunan. Sebaliknya, Misuari menuduh pemerintah Filipina tidak merealisasikan dana pembangunan untuk rakyat Mindanao, sehingga menyebabkan dua juta rakyat muslim kawasan itu menjadi warga paling miskin di Filipina. Karena itulah ia menawar masa jabatannya sebagai gubernur agar diperpanjang sampai 2003. Akan tetapi usulan ini ditolak oleh pemerintah Filipina [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Dari pihak bangsa Moro-pun Misuari telah kehilangan dukungan dan kepercayaan. Ia hanya didukung oleh tidak lebih dari 300 pejuang Moro. Pada bulan Mei 2001 ia tidak lagi menjabat sebagai ketua MNLF, melainkan sekedar ketua Kehormatan yang tidak memiliki wewenang apapun [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Nur Misuari bukannya tidak berusaha merebut kembali simpati bangsa Moro. Pada Juni 2001 ia menyodorkan sebuah proposal berdirnya negara merdeka untuk bangsa Moro. Akan tetapi kredibilitas Misuari pada kenyataannya sudah jatuh di mata kelompok-kelompok Moro. Maka proposal itupun tidak mendapat tanggapan dari bangsa Moro.

Akar dari semua masalah hak otonomi bagi bangsa Moro dan proses pemilihan gubernur baru pengganti Misuari inilah mengakibatkan terjadinya perlawanan Misuari dan pengikutnya selama lima hari di Jolo Filipina Selatan, di akhir November 2001. Perlawanan itu mengakibatkan Misuari tertangkap di Sabah Malaysia saat ia berusaha melarikan diri ke Malaysia [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Mungkin hanya dengan penyelesaian masalah otonomi yang adil dapat diharapkan keterbukaan dan partisipasi masyarakat Moro dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang paripurna [Dinamika Asia Tenggara, 315]..

Yang tidak dapat dilupakan dari masyarakat muslim Moro adalah bahwa mereka terus menunjukkan dinamika beragama dan bermasyarakat kendati dalam situasi yang tidak menentu. Mereka terus meningkatkan usaha pendidikan . Hubungan dengan dunia Islam dan gerakan dakwah internasional maupun regional terus dikembangkan. Umpamanya sejat tahun 1980-an pengaruh grakan Jamah Tablig di kalangan masyarakat Moro, terutama yang tinggal di perkotaan, semakin meningkat. Begitu juga dengan peningkatan berbagai segi kehidupan sosial. [Azyumardi Azra, 315-317]

-----------------6Juli2009-----------------



Tidak ada komentar:

Posting Komentar