A. Pengertian dan Urgensi Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Tarjih berasal dari kata " rojjaha – yurajjihu- tarjihan ", yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.[1] Jadi secara bahasa tajrih merupakan cartaa pengambilan sesuatu dengan membandingkan antara dua hal yang saling bertentangan dan mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya ". Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai " Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah " adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat ".[2]
Jadi majlis tarjih dapat didefinisikan sebagai suatu lembaga hukum dalam persyarikatan Muhammadiyah yang mempunyai peranan sebagai lembaga yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum fiqh. Majlis tarjih mempunyai peranan yang sangat penting bagi pengembangan pemikiran Muhammadiyah terutama yang berkaitan dengan masalah hukum. Dengan adanya lembaga Tarjih ini, maka perpecahan antar warga Muhammadiyah yang diakibatkan perbedaan pendapat dapat dihindarkan dan majlis ini juga menetapkan pendapat mana yang lebih kuat untuk diamalkan oleh warga Muhammadiyah. Selain itu, majlis tarjih dalam perkembanganya tidak hanya sekedar menjatrjih masalah-masalah khilafiyah, akan tetapi mengarah pada penyelesaian masalah-masalah baru atau kontemporer.
B. Sejarah dan Perkembangan Majlis Tarjih.
Dalam Konggres Muhammadiyah ke-16 pada tahun 1927 di Pekalongan KH Mas Mansur al-Marhum yang ketika itu menjabat sebagai konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya mengusulkan agar didirikan semacam majlis ulama yang secara khusus bertugas membahas masalah-masalah agama. Usul tersebut berdasarkan pertimbangan adanya kekhawatiran timbul perpecahan di kalangan orang-orang Muhammadiyah , terutama ulama’nya karena perbedaan paham dalam masalah-masalah hukum agama. Perbedaan-perbedaan demikian sebagaimana terbukti dalam sejarah telah menyebabkan pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam, terutama ulama’nya sehingga timbullah madzhab-madzhab dan kefanatikan terhadapnya, sehingga meretakkan ukhuwah Islamiyah dan menghancurkan persatuan umat Islam. Beliau juga khawatir kalau Muhammadiyah sampai menyimpang dari hukum agama, karena mengejar kebesaran lahiriyah mengabaikan tujuan utamanya. Akhirnya usul tersebut diterima secara aklamasi, dan sejak itulah berdiri Majlis Tarjih – yang kemudian dalam Mu’tamar Muhammadiyah ke-43 tahun 1995 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam - sampai sekarang ini.[3]
Seiring dengan perkembangan pemkiran Islam dan semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi, majlis tarjih dikalangan internal banyak yang menuntut agar majlis tarjih ini diubah menjadi majlis Ijtihad. Namun berdasarkan kesejarahan namanya tetap majlis tarjih. Sebagai lembaga yang mempunyai fungsi sebagai lembaga yang menangani masalah keagamaan, maka majlis tarjih juga mengalami pengembangan pengembangan. Dalam majlis ini masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum yang memerlukan pemecahan alam perspektif Islam, maka melalui majlis ini akan dicarikan dalil yang relevan, menetapkan manhaj Istinbath Hukum, dan kemudian manarik natijah hukum. Hasil dari keputusan ini, kemudian di ajukan kepada pimpinan pusat Muhammadiyah yang mempunyai otoritas untuk tanfidzkan atau disesuaikan dengan perimbagan-pertimbangan yang ada. Jika telah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut bersifat mengikat secara organisatoris Muhammadiyah dan keputusan bersifat mengikat bagi warga Muhammadiyah sesuai dengan tingaktannya masing-masing, yakni tanfidz oleh pengurus pusat kepada seluruh wagra Muhammadiyah, tanfidz oleh wilayah kepada warga Muhammadiyah yang ada diwilayahnya, demikian pula pimpinan daerah mengikat kepada warga yang ada diwilayahnya.
Selain itu lembaga ini juga telah banyak mengalami pergantian kepemimpinan adapun kepemimpinan majlis tarjih sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )[4]
C. Metodologi Penentuan Istimbath Hukum.
Muhammadiyah sebagai gerakan islam dan dakwah amar ma`ruf nahi munkar. Muhammadiyah selalu berusaha agar umat Islam dapat melaksanakan ajaran agama Islam sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadits tanpa mengabaikan akan dalam memahami dan menjabarkan pemahaman makna. Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangsih yang besar bagi umat islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dan telah banyak pula sumbangan pemikiran Muhammadiyah yang menjadi amalan bagi umat muslim dan ada pula ide-ide Muhammadiyah yang menjadi program nasional.
Dalam memberikan arahan kepada warganya menenai masalah hukum, Muhammadiyah mendirikan majlis tarjih yang diproyeksikan sebagai Laboratorium dari mekanisme ijtihad dikalangan Muhammadiyah. Dan ini telah terbukti ditengah-tengah masyarakat, walaupun masih belum banyak putusan-putusan yang dihasilkan.
Yang menjadi dasar pijakan mekanisme ijtihad dikalangan Muhammadiyah khususnya mengenai dasar-dasar hukum adala putusan Muktamar Tarjih ta un 1954/1955 yang menegaskan :
a. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Qur`an dan hadits.
b. Bahwa dimana dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatka untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan `ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih di dalam Al-Qur`an atau Sunnah shahihah, maka dipergunakan alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath atas nash-nash yang ada, melalui persamaan illat; sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf.[5]
Lembaga tarjih dikalangan Muhammadiyah ini juga menjadi jalan ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan agama. Ijtihad dalam lembaga ini merupaka ijtihad yang bersifat kolektif, artinya dalam pengambilan istnbath hukum dilakukan dengan jalan musyawarah dengan mempertimbangkan dali-dalil yang relevan dan kuat dengan membandingkan beberapa dalil yang ada. Melalui majlis tarjih ini persoalan-persoalan yang diangkat kemudian dicarikan dalilnya yeng relevan, diterapkan istinbath hukumnya kemudian baru ditentukan natijahnya. Setelah diperoleh keputusan, maka hasilnya diajukan ke pimpinan pusat Muhammadiyah untuk ditanfidzkan atau disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada, dan setelah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut bersifat mengikat bagi warga Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya.
Menurut bahasa, kata “tarjih” berasal dari “Rajjaha” yang berarti memberi pertimbangan lebih dari pada yang lain. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda pendapat dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid, sehingga kasyf-u`l Asrar disebutkan bahwa tarjih itu adalah:
تَقْدِمُ الْمُجْتَهِدِ اَحَدَ الطَّرِيْقَيْنِ الْمُعَارِضَيْنِ لِمَا فِيْهِ مِنْ مَزِيَّةِ مُعْتَبَرَةِ تَجْعَلُ الْعَمَلِ بِهِ اَوُلِيَ مِنَ اْلأَخَرِ
“ Segala usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang nyata untuk dilakukan tarjih itu.”[6]
Dalam pengambilan keputusan hukum, majlis tarjih menempuh jalan ijtihad yang meliputi:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna yang dimaksud, maupun karena suatu lafal mengandung makna ganda (musytarak), atau karena pengertian lafal dalam lafal yang konteksnya mempunyai arti yag jumbuh (mutasyabih), ataupun adanya dalil-dalil yang tampak ditempuh alk jam` kemudian tarjih.
b. Ijtihad Qiyasi, yaitu menganalogikan hukum yang disebut dalam nash kedalam masalah baru yang belum ada hukum nash, karena persamaan illat.
c. Ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak disebutkan di dalam nash sama sekali hukum khusus, maupun tidak ada nash yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan.[7]
Ketiga jalan ijtihad tersebut merupakan jalan yang ditempuh oleh majlis tarjih Muhammadiyah dalam menentukan suatu hukum dari masalah yang di angkat. Dalam pengambilan hukum, majlis tarjih tidak menganut atau mengikatkan diri pada sesuatu mazhab tertentu, tetapi pendapat imam-imam mazhab dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan suatu hukum selama pendapat tersebut sesuai dengan Al-Qur`an dan Hadits atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. Dan dalam menetapkan suatu putusan dilakukan dengan jalan musyawarah, menetapkan masalah-masalah ijtihadiyah dilakukan ijtihad jama`i dan pendapat perorangan dari anggota tidak dapat dipandang sebagai pendapat majlis.
Ijtihad bayani maupun ijtihad qiyasi telah banyak dilakukan oleh para imam mahzab dalam menentukan istinbath hukum. Sedangkan ijtihad istishlah adalah pencarian hukum suatu masalah yang didasarkan atas pertimbagan kemaslahatan. Menetapkan hukum atas dasar kemaslahatan yang kadang mengandung makna yang semu yang dapat didorong oleh nafsu hedonis.[8] Imam Syafi`i menolak penetapan hukum hanya berdasarkan kebaikan karena hal seperti ini dapat dipengaruhi oleh hawa nafsu. Penetapan hukum dengan pertimbangan kemaslahatan ini yang persoalan perlu adanya solusi yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Jawaban dari persoalan kemaslahatan inilah yang perlu dicarikan solusinya agar tujuan dari kemaslahatan dapat menunjang terpeliharanya agama, diri manusia, kehormatan serta fikiran, harta dan keturunan. Sehingga kemaslahatan yang dijadikan landasan ijtihad ishtishlahi dapat menjadi jiwa dalam penetapan hukum syari`at atau istilahnya maqasidus syari`at dapat terpenuhi.
Sedangkan dalam pengambilan sumber hukum yang bersumber dari hadits Nabi, majlis tarjih dalam menjadikan suatu hadits menjadi sumber hukum mempertimbangkan tiga aspek dalam pentarjihan. Adapun tiga aspek yang menjadi petimbangan dalam pentarjihan dalil-dalil manqul hukum antara lain;
a. Yang kembali kepada sanad, dan ini dibagi menjadi 2:
1). Yang kembali kepada perawi , yang dibagi menjadi dua pula: yang kembali diri perawi dan yang kembali kepada penilaian perawi.
2). Yang kembali kepada periwayatan.
b. Yang kembali kepada matan,
c. Yang kembali kepada hal yang diluar kedua tersebut.[9]
Itulah beberapa aspek pentarjihan yang dua dalil (khususnya hadits) menurut rumusan sebagian ulama, dan penerapannya perlu kita renungkan lebih dalam. Pelaksanaan tarjih seperti tersebut di atas tidaklah merupakan satu-satunya jalan yang ditempuh majlis tarjih . karena majlis tarjih tugasnya tidak hanya mentarjih dalil-dali yang bertentangan, tetapi majlis ini juga melakukan ijtihad yaitu ijtihad jama`i.
D. Aplikasi manhaj tarjih Muhammadiyah dalam penetapan hukum.
Majlis tarjih merupakan lembaga yang mempunyai peranan dalam menentukan suatu hukum yeng berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Dalam pengambilan hukum atas suatu permasalahan yang di angkat, dan majlis tarjih juga telah menghasilkan beberapa putusan muktamar majlis tarjih, dibawah ini, disebutkan beberapa putusan sebagai gambaran hasil muktamar majlis tarjih, anatar lain:
Nama putusan tahun
Kitab iman 1929
Kitab Thaharah 1933
Kitab Shalat 1929
Kitab Jama`an dan Jum`ah 1956
Kitab Zakat 1950
Kitab Shiyam 1939
Kitab Hajji 1953
Kitab Janazah 1936
Kitab Wakaf 1953
Masalah lima, meliputi jawaban atas persoalan apa itu agama, dunia, ibadah, sabililah, dan qiyas, tahun 1954/1955.[10]
Apabila kita menamati degan seksama Al-Qur`an maupun Hadits, kita akan mendapati ayat yang menyebutkan tujuan ditetapkannya hukum itu untuk kemaslahatan manusia. Contohnya ayat-ayat dah hadits yang menyebutkan:
a. Peritah wudlu, agar manusia bersih fisik dan mentalnya.
b. Perintah shalat, agar manusia senantiana ingat kepada Allah SWT.
c. Perintah Puasa, agar manusa terjaga dirinya (taqwa).
d. Disyariatkannya menikan agar manusia itu terjaga dirinya bersama keturunannnya.
Sedangkan beberapa keputusan yang dihasilkan oleh majlis tarjih, anatar lain:
a. Penetapan awal Ramadhan dan syawal.
b. Tuntunan idul adha.
c. Keputusan pengharaman rokok, dll.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa majlis Tarjih Muhammadiyah merupakan suatu lembaga yang mempunyai fungsi sebagai lembaga peran sebagai lembaga majlis tarjih dapat didefinisikan sebagai suatu lembaga hukum dalam persyarikatan Muhammadiyah yang mempunyai peranan sebagai lembaga yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum fiqh. Majlis tarjih mempunyai peranan yang sangat penting bagi pengembangan pemikiran Muhammadiyah terutama yang berkaitan dengan masalah hukum. Dengan adanya lembaga Tarjih ini, maka perpecahan antar warga Muhammadiyah yang diakibatkan perbedaan pendapat dapat dihindarkan dan majlis ini juga menetapkan pendapat mana yang lebih kuat untuk diamalkan oleh warga Muhammadiyah. Selain itu, majlis tarjih dalam perkembanganya tidak hanya sekedar menjatrjih masalah-masalah khilafiyah, akan tetapi mengarah pada penyelesaian masalah-masalah baru atau kontemper.
Secara metodeologis, majlis tarjih Muhammadiyah menggunakan ijtihad jama`i. Dalam berijtihad, majlis tarjih Muhammadiyah menggunakan tiga macam ijtihad, yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi dan ijtihad istishlahi. Dan majlis tarjih tidak mengikatkan diri pada salah satu mazhab, tetapi majlis tarjih menggunakan pendapat-pendapat Imam mazhab sebagai pertimbangan dalam pengambilan hukum selama tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan Hadits. Sehingga lembaga ini mempunyai peranan yang sangat penting bagi penentuan suatu hukum terhadap masalah yang dihadapi. Hasil dari keputusan ini, kemudian di ajukan kepada pimpinan pusat Muhammadiyah yang mempunyai otoritas untuk tanfidzkan atau disesuaikan dengan perimbagan-pertimbangan yang ada. Jika telah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut bersifat mengikat secara organisatoris Muhammadiyah dan keputusan bersifat mengikat bagi warga Muhammadiyah sesuai dengan tingaktannya masing-masing.
Jadi majlis tarjih Muhammadiyah mempunyai peran yang urgen dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keagamaan dan lembaga ini juga sebagai laboraturium Agama di Muhammadiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zain An Najah, MA, Majlis Tarjih Muhammadiyah( Pengenalan, Penyempurnaan Dan Pengembangan ), www. http://zh-cn.facebook.com/note.php?note_id=448847060506 28/10/10
Dr. M. Sa’ad ibrahim, M..A, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam: Manhaj Dan Aplikasinya, http://miklotof.wordpress.com/28/10/10
KH. Ahmad Azhar Basyir, M.A, Refleksi atas Persoalan Keislaman( bandung;Mizan, 1993)
Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (metode dan aplikasi), (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007).
Asjmuni Abdurrahman, Sorotan Terhadap Beberapa Masalah Sekitar Ijtihad dalam rekonstruksi metodologi ilmu-ilmu keislaman (Yogyakarta
[1] Ahmad Zain An Najah, MA, Majlis Tarjih Muhammadiyah( Pengenalan, Penyempurnaan Dan Pengembangan ), www. http://zh-cn.facebook.com/note.php?note_id=448847060506 28/10/10
[2] Ibid.
[3] Dr. M. Sa’ad ibrahim, M..A, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam: Manhaj Dan Aplikasinya, http://miklotof.wordpress.com/28/10/10
.
[4] Ahmad Zain An Najah, MA, Majlis Tarjih Muhammadiyah.
[5] KH. Ahmad Azhar Basyir, M.A, Refleksi atas Persoalan Keislaman( bandung;Mizan, 1993) cet. I hal. 278
[6] Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (metode dan aplikasi), (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007). Cet. IV hal. 3.
[7] KH. Ahmad Azhar Basyir, M.A, Refleksi atas Persoalan Keislaman. Hal. 281.
[8] Asjmuni Abdurrahman, Sorotan Terhadap Beberapa Masalah Sekitar Ijtihad dalam rekonstruksi metodologi ilmu-ilmu keislaman (Yogyakarta; Su-Ka Press;2003) hal. 249
[9] Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (metode dan aplikasi). Hal. 5
[10] KH. Ahmad Azhar Basyir, M.A, Refleksi atas Persoalan Keislaman. Hal. 282.